ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Indonesia Krisis Kesehatan? Ini Fakta Mengejutkan yang Harus Anda Ketahui!

SURABAYA - Ketimpangan di sektor kesehatan Indonesia, khususnya distribusi tenaga medis, akses fasilitas, dan penyalahgunaan obat, menjadi sorotan utama dalam sebuah siniar kesehatan terbaru.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), apt. Noffendri Roestam, S.Si., mengungkapkan fakta mengejutkan terkait distribusi apoteker.

"Sebanyak 60 persen apoteker terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara sisanya tersebar di seluruh Indonesia. Pola ini juga terlihat di tingkat provinsi—mayoritas apoteker praktik di ibu kota dibandingkan kabupaten atau kota lainnya,” ungkap Noffendri.

Meskipun Indonesia memiliki 106.000 apoteker hingga Oktober 2024, distribusi yang tidak merata menghambat akses layanan kesehatan di banyak wilayah, terutama daerah terpencil.

Noffendri menambahkan bahwa setiap tahunnya sekitar 12.000 apoteker baru lulus, namun tanpa insentif pemerintah, pemerataan tenaga kesehatan tetap menjadi tantangan.

“Kita berharap apoteker tidak hanya praktik di kota besar, tetapi juga menjangkau daerah yang membutuhkan,” tambahnya.

Di tengah keterbatasan akses, swamedikasi menjadi alternatif, menurut dr. Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer.

“Swamedikasi membantu masyarakat mengatasi gejala ringan sekaligus mengurangi beban fasilitas kesehatan,” kata dr. Fajri.

Namun, ia menekankan pentingnya edukasi dan konsultasi medis jika kondisi tidak membaik dalam tiga hari.

“Pembelian obat golongan bebas dan bebas terbatas tanpa resep harus dilakukan dengan mematuhi aturan dosis di kemasan, karena penggunaan secara berlebihan dapat mengakibatkan efek samping kerusakan organ dalam,” jelasnya.

Sayangnya, masalah ini diperparah oleh penyalahgunaan obat, khususnya di kalangan remaja, menurut Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi.

“Otak remaja belum sempurna perkembangannya, sehingga mereka belum dapat mengukur risiko dan sering bertindak impulsif. Minimnya edukasi dari keluarga, sekolah, dan lingkungan memperburuk situasi,” ungkap Irma.

Noffendri Roestam juga mengkritik razia apotek sebagai solusi penyalahgunaan obat.

"Apotek beroperasi dengan regulasi dan pengawasan dinas kesehatan dan BPOM. Razia di apotek tidak tepat, karena apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan tempat penyalahgunaan obat. Fokus penindakan seharusnya pada pengedar obat tidak resmi," tegasnya.

Ketiga narasumber sepakat bahwa solusi komprehensif dibutuhkan, meliputi edukasi publik, percepatan izin apotek, dan pemerataan infrastruktur kesehatan.

Noffendri berharap ada solusi yang diberikan harus sustainable. Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar. Dengan pendekatan kolaboratif, Indonesia diharapkan dapat menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan.

Editor : Alim Perdana