Madura, Tembakau, Rokok Lokal dan Negara yang Tak Pernah Membela

Reporter : Diday Rosadi
Holili, S.Ag, M. Ag, Ketua Asosiasi Pengusaha Muda Tembakau Madura, (APTMA). foto: dok/ayojatim.

Oleh : Holili, S.Ag, M. Ag

Ketua asosiasi pengusaha muda tembakau Madura (APTMA)

Baca juga: Seminar Madura Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Dorong Kemandirian Ekonomi Madura

Saya dibesarkan oleh tembakau, Bukan sebagai metafora, tapi sebagai kenyataan hidup.

Orang tua saya menggantungkan hidup dari daun-daun tembakau yang dirawat sejak bibit, dijaga dari hama, dan dijemur dengan sabar di bawah sinar matahari.

Dari hasil tani itulah kami makan, berobat, dan bersekolah. Bahkan sampai saya bisa menyelesaikan pendidikan magister, dari hasil tembakau. 

Tidak ada jalan pintas, Tidak ada privilese. Yang ada hanya kerja keras dan keyakinan bahwa hidup dari tanah sendiri adalah kehormatan.

Karena itu, ketika hari ini saya melihat tembakau Madura diperlakukan seolah barang haram, saya tidak hanya sedih. Saya terluka.

Negara datang bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai algojo kebijakan.

Puluhan tahun petani tembakau Madura hidup dalam ketidakpastian.

Harga tidak pernah berpihak. Cuaca semakin sulit ditebak. Modal semakin mahal.

Namun negara hampir tidak pernah hadir untuk memastikan petani bisa hidup layak dari kerja yang jujur.

Anehnya, ketika petani dan pengusaha kecil mencoba bertahan dengan mengolah tembakau menjadi produk jadi, mengemasnya dengan rapi, dan menjualnya untuk menyambung hidup, mereka justru dicap sebagai perusak dan perugian negara.

Di titik ini, kita patut bertanya: negara yang mana yang dirugikan?

Negara tidak pernah benar-benar membela petani tembakau Madura. Negara tidak hadir saat harga jatuh.

Tidak hadir saat panen gagal. Tidak hadir saat lapangan kerja sempit.

Tapi negara selalu tepat waktu saat ingin menindak. Keberanian negara terasa sangat selektif. Tajam ke bawah, lunak ke atas.

Petani, buruh linting, sopir angkut, dan pengusaha lokal kecil menjadi sasaran empuk.

Mereka diperlakukan seperti pelaku kejahatan besar, padahal yang mereka lakukan hanyalah mencari cara agar dapur tetap mengepul.

Sementara itu, persoalan struktural dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi yang nyata.
Madura bukan daerah yang pemalas. Orang Madura bekerja keras.

Tapi ketika lapangan pekerjaan minim dan negara tidak membuka jalan, banyak yang terpaksa pergi jauh.

Menjadi pekerja migran di negeri orang. Meninggalkan anak dan istri. Mengambil risiko besar demi satu hal yang sangat sederhana: hidup layak.

Ini bukan pilihan ideal. Ini pilihan terpaksa, lahir dari ketidakadilan yang terus dibiarkan.

Baca juga: Haji Her, Usulkan Madura Menjadi Wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau dan Garam, Berikut Alasannya.

Saya mengenal para pengusaha lokal tembakau Madura.

Mereka bukan konglomerat. Mereka bukan penimbun kekayaan. Mereka hidup berdampingan dengan pekerjanya.

Mereka tahu siapa buruhnya, tahu siapa yang anaknya harus bayar sekolah, siapa yang orang tuanya sakit.

Ketika usaha mereka mati, yang terdampak bukan hanya satu neraca keuangan, tapi satu komunitas.

Cerita paling pilu sering datang dari para sopir pengangkut rokok lokal. Mereka berangkat pagi dengan harapan pulang membawa uang untuk keluarga.

Namun di jalan, mereka berhadapan dengan hukum yang begitu dingin dan tanpa wajah.

Bayangkan, hanya karena mengangkut barang untuk menghidupi keluarga, seseorang harus kehilangan kebebasan bertahun-tahun. Di mana letak keadilan ?

Masalah ini semakin rumit ketika bicara soal perizinan. Banyak pengusaha kecil sebenarnya ingin taat aturan. Mereka ingin legal.

Mereka ingin patuh. Tapi yang mereka hadapi adalah birokrasi yang berbelit, mahal, dan melelahkan.

Proses perizinan industri hasil tembakau bisa memakan waktu hingga dua tahun.

Dua tahun bagi usaha kecil bukan masa tunggu, tapi masa sekarat. Usaha mati sebelum izin keluar.

Baca juga: Dari Madura untuk Indonesia : Keteladanan Haji Her dalam Memberdayakan Petani dan Pemuda

Di sinilah negara kembali gagal membaca realitas rakyatnya sendiri.

Saya tidak menulis ini untuk menolak hukum. Saya menulis ini untuk menuntut agar hukum punya nurani.

Industri hasil tembakau adalah industri padat karya. Jika negara mau mempermudah perizinan dan mengubah pendekatan dari semata penindakan menjadi pembinaan, ribuan lapangan kerja bisa tercipta.

Pengangguran bisa ditekan. Ekonomi daerah bisa bergerak.

Bea cukai dan kepolisian seharusnya tidak hanya menjadi simbol ketakutan, tapi juga mitra rakyat.

Menjadi penjaga keseimbangan antara hukum dan kemanusiaan. Menjadi bagian dari solusi, bukan sumber trauma.

Selama ini, Madura dan tembakaunya dibiarkan berjalan sendiri. Negara datang hanya ketika ingin mengambil, bukan ketika harus membela.

Padahal di balik setiap daun tembakau Madura, ada kisah tentang ketekunan, pengorbanan, dan harapan yang diwariskan lintas generasi.

Petani tembakau tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin keadilan. Mereka hanya ingin diakui sebagai warga negara yang bekerja jujur.

Jika negara terus memilih untuk tidak membela, maka jangan heran jika luka ini semakin dalam.

Karena Madura akan terus menanam tembakau.
Pertanyaannya hanya satu:
apakah negara akan terus berpaling?

Editor : Diday Rosadi

Wisata dan Kuliner
Berita Populer
Berita Terbaru