Arogansi di Balik Kalimat: "Kalau Takut Rugi, Jangan Buka Travel"

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang Amphuri

PERNYATAAN Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang menyebut, "Ini bukan menghambat, tapi memberi pilihan. Kalau takut rugi, jangan buka travel," bukan hanya tidak pantas diucapkan oleh wakil rakyat, tetapi juga menunjukkan sikap arogansi kebijakan yang berbahaya. Kalimat ini tidak sekadar retorika politik, itu mencerminkan cara berpikir yang menyepelekan realitas sosial, ekonomi, dan tanggung jawab negara terhadap ekosistem ibadah umat.

Baca juga: Mengapa Judicial Review UU No.14/2025 Tak Bisa Dihindari

Kata "pilihan" dalam konteks kebijakan publik bukanlah istilah netral. Dalam teori public policy and welfare state, negara memiliki fungsi protektif untuk memastikan keadilan akses dan perlindungan terhadap kelompok rentan (Anderson, Public Policy Making, 2006).

Memberi kebebasan tanpa desain perlindungan hanyalah bentuk deregulasi liar yang menyingkirkan pelaku lemah dan memperkuat kekuatan besar, baik korporasi global maupun entitas asing.

Narasi "umrah mandiri" yang kini dilegalkan dalam UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah baru adalah bentuk liberalisasi semu yang meniru logika pasar bebas tanpa kesiapan sistem domestik. Dalam situasi kesenjangan literasi digital dan akses informasi yang masih tinggi, "pilihan" justru menjadi jebakan.

Kegagalan Logika dan Tanggung Jawab Negara

Dalam hukum administrasi publik, setiap kewenangan negara melekat dengan asas perlindungan warga negara (Friedmann, Law and Social Change, 1971). Negara tidak boleh bersikap netral terhadap kebebasan pasar jika kebebasan itu berpotensi merugikan rakyatnya.

Ketika DPR menjustifikasi kebijakan ini dengan kalimat "kalau takut rugi, jangan buka travel," maka negara seolah-olah sedang mencuci tangan dari tanggung jawab konstitusionalnya untuk menciptakan keadilan ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Padahal, industri umrah bukan sekadar bisnis perjalanan. Tapi ekosistem ekonomi keumatan yang menghidupi ribuan pelaku kecil: dari biro travel lokal, koperasi, penyedia katering, transportasi, penginapan, asuransi, hingga UMKM penyedia perlengkapan ibadah.

Ketika jalur mandiri dibuka tanpa sistem pengawasan dan kemitraan nasional yang kuat, maka efek domino akan menghantam seluruh rantai ekonomi tersebut.

Belajar dari Negara Lain

Lihatlah Malaysia, negara dengan jumlah jamaah umrah yang juga besar. Pemerintahnya melalui Tabung Haji dan Lembaga Urusan Umrah tetap memegang kendali ketat terhadap tata kelola keberangkatan jamaah, bahkan ketika Arab Saudi membuka sistem e-visa.

Baca juga: Umrah Mandiri, Siapa Diuntungkan Siapa Yang Dikorbankan?

Jamaah Malaysia yang ingin berangkat mandiri tetap wajib melalui agen resmi yang terdaftar, dengan standar akreditasi yang diawasi negara. Tujuannya sederhana: perlindungan dan akuntabilitas.

Demikian pula Turki dan Pakistan. Kedua negara itu menyesuaikan sistem digital Arab Saudi tanpa mematikan pelaku lokal. Mereka justru membangun integrated national platform, sistem digital nasional yang menghubungkan jamaah, agen lokal, dan otoritas haji secara langsung. Negara hadir sebagai pengendali dan fasilitator, bukan penonton.

Kebijakan di Indonesia seharusnya mengarah ke sana. Modernisasi tata kelola tidak boleh berarti liberalisasi pasar. Adaptasi dengan sistem digital Arab Saudi mesti diiringi dengan penguatan lembaga domestik, bukan pembiaran.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Sikap DPR yang menganggap kritik pelaku industri sebagai "ketakutan rugi" jelas merendahkan kontribusi sosial ekonomi mereka.

Berdasarkan data Kementerian Agama (2023), industri haji dan umrah menyumbang lebih dari Rp 20 triliun per tahun terhadap perekonomian nasional dan membuka lebih dari 300 ribu lapangan kerja langsung dan tidak langsung.

Baca juga: Umrah Mandiri dan Krisis Perlindungan

Mengabaikan sektor sebesar itu atas nama "pilihan individu" sama saja dengan menutup mata terhadap realitas ekonomi umat.

Dalam ekonomi Islam, kebijakan publik harus berlandaskan prinsip maslahah, kemanfaatan bersama. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan syariah (maqashid syariah) adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika sebuah kebijakan justru berpotensi merusak salah satu dari lima tujuan itu, maka kebijakan tersebut batal secara moral dan sosial.

Pernyataan "kalau takut rugi, jangan buka travel" menunjukkan degradasi empati dan visi kenegaraan. Wakil rakyat semestinya berbicara dengan nalar kebijakan, bukan dengan nada menghardik rakyat yang justru mereka wakili.

Kebijakan publik tidak boleh didasarkan pada logika pasar semata, tetapi harus berpijak pada nilai keadilan, perlindungan, dan kemanusiaan sebagaimana diamanatkan konstitusi dan syariat Islam. Rakyat tidak menolak perubahan, tetapi mereka menolak diabaikan.

Karena di balik setiap "pilihan" yang ditawarkan tanpa perlindungan, selalu ada ketimpangan yang disembunyikan. Dan jika negara yang membiarkan itu terjadi, sesungguhnya itu berarti negara sedang menjajah rakyatnya sendiri dengan cara baru

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru