Dilema Personal Branding di Media Sosial: Ingin Tumbuh atau Terlihat Tumbuh?

ayojatim.com
Foto: Ilustasi/Pinterest

Oleh: Tri Aqila

DI tengah derasnya arus digital, media sosial tidak lagi sekadar ruang berbagi cerita, melainkan telah menjelma menjadi panggung besar tempat setiap individu membangun citra dirinya. Kini, proses berkembang tidak hanya terjadi di balik layar, tetapi juga di ruang publik yang terbuka.

Baca juga: Opini Publik dalam Konteks Korporat dan Bisnis

Banyak orang menggunakan media sosial untuk menampilkan perjalanan hidup, pencapaian, hingga perjuangan mereka sebagai bagian dari pembentukan identitas pribadi.

Namun, muncul pertanyaan, apakah membagikan proses di media sosial benar-benar membantu seseorang berkembang, atau justru membuat kita sibuk membangun citra ketimbang makna?

Berbeda dengan masa lalu, ketika kerja keras cukup diketahui oleh lingkungan terdekat, kini banyak orang memilih menampilkan prosesnya secara terbuka melalui berbagai platform digital.

Unggahan foto, video, dan cerita menjadi medium untuk memperlihatkan perjalanan karier, aktivitas sosial, maupun gaya hidup kepada publik. Langkah ini tidak selalu dimaksudkan untuk pamer, tetapi sering kali menjadi strategi agar lebih mudah dikenal, diingat, dan dipercaya.

Menurut laporan We Are Social dan Meltwater (2024), pengguna media sosial di Indonesia mencapai lebih dari 181 juta orang, dengan durasi rata-rata penggunaan lebih dari tiga jam per hari.

Menariknya, sebagian besar pengguna berusia 18–34 tahun menggunakan media sosial bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai sarana membangun citra diri dan membuka peluang karier. Fakta ini menunjukkan bahwa personal branding bukan lagi milik figur publik semata, setiap individu kini bisa mengelola citranya melalui layar ponsel.

Meski demikian, tidak semua orang memilih jalur yang sama. Ada pula mereka yang lebih nyaman berproses dalam diam. Mereka fokus mengasah kemampuan, bekerja keras, dan menyiapkan hasil sebelum membagikannya ke publik. Bagi kelompok ini, hasil lebih penting daripada sorotan. Mereka percaya, kualitas akan berbicara pada waktunya, tanpa perlu banyak eksposur.

Baca juga: Rumah Literasi Digital - Telkomsel Dorong Generasi Muda Ber-Sosmed yang Sehat

Perbedaan dua pendekatan ini kerap memunculkan perdebatan. Apakah menampilkan proses di media sosial berarti haus perhatian? Atau justru bagian dari strategi adaptif di era digital? Nyatanya, media sosial memang telah menjadi ruang penting dalam membangun reputasi.

Banyak contoh menunjukkan bahwa individu yang konsisten membagikan perjalanan dan pemikirannya justru memperoleh kepercayaan serta peluang baru. Dalam konteks ini, membagikan proses di media sosial dapat menjadi bentuk keterbukaan dan pembuktian diri yang positif.

Namun, personal branding yang kuat tidak selalu diukur dari seberapa sering seseorang muncul di layar. Ia tumbuh dari konsistensi, ketulusan, dan arah yang jelas. Setiap konten yang dibagikan seharusnya bukan sekadar simbol kesibukan, melainkan cerminan nilai dan kemampuan yang ingin ditunjukkan.

Seorang desainer, misalnya, dapat membagikan proses kreasinya untuk dikenal sebagai pribadi kreatif dan orisinal. Begitu pula seorang mahasiswa dapat menampilkan aktivitas organisasinya sebagai bentuk komitmen dan semangat kepemimpinan.

Meski demikian, penting diingat bahwa media sosial hanyalah alat bantu, bukan ukuran utama kesuksesan seseorang. Berproses dalam diam tetap memiliki tempat tersendiri bagi mereka yang lebih memilih fokus pada pengembangan diri tanpa perlu banyak sorotan.

Baca juga: Klik Sebelum Tabayyun, Atau Tabayyun Baru Klik?

Proses yang dijalani dengan tenang sering kali melahirkan hasil yang lebih matang karena dilakukan dengan kesadaran penuh dan tanpa tergesa. Di tengah dunia yang serba cepat, diam bisa menjadi strategi, bukan karena takut terlihat, tetapi karena memahami bahwa tidak semua hal perlu diumbar.

Baik mereka yang memilih berproses dalam diam maupun yang membangun diri lewat media sosial, keduanya memiliki nilai dan arah masing-masing. Yang membedakan hanyalah kesadaran dan tujuan dalam menjalaninya.

Media sosial memang bisa menjadi sarana efektif untuk membangun personal branding, asalkan digunakan dengan niat yang jelas dan isi yang autentik. Namun ketika tujuannya hanya untuk terlihat ada, makna dari proses itu perlahan memudar.

Pada akhirnya, setiap orang memiliki caranya sendiri untuk tumbuh. Ada yang menapaki jalan dengan tenang, ada pula yang melangkah sambil berbagi kisah kepada dunia. Keduanya sah, selama proses itu membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik, bukan sekadar lebih terlihat.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru