SURABAYA - Terbakarnya Gedung Negara Grahadi yang merupakan cagar budaya sarat sejarah pada 30 Agustus 2025 malam lalu, menjadi keprihatinan yang mendalam dan luka publik yang belum juga sembuh.
Terbakarnya Gedung Negara Grahadi menjadi tema dalam diskusi lesehan antara Dirintelkam Polda Jatim, Kombes Nanang Juni Mawanto dengan Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr Lia Istifhama, pada 12 September 2025.
Baca juga: Senator Lia Istifhama Dukung Figur Muda Kreatif Jadi Menpora
Dari obrolan di rumah sederhana kediaman Ning Lia, muncul dorongan perubahan aturan terkait lokasi demonstrasi. Terutama dalam hal pembatasan bahkan pelarangan aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya. Hal ini disampaikan Ning Lia pasca diskusi dengan Dirintelkam Polda Jatim.
Doktoral UINSA itu menjelaskan, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memang menjamin kebebasan warga untuk berdemonstrasi. Namun, UU tersebut juga memberi batasan lokasi, seperti larangan unjuk rasa di istana presiden, tempat ibadah, rumah sakit, hingga objek vital nasional.
Lia melanjutkan, Undang-Undang ini memang sudah mengatur larangan membawa benda berbahaya dan aksi pada hari besar nasional.
Tetapi belum secara tegas menyebut cagar budaya. Padahal, banyak kantor pemerintahan yang menempati gedung bersejarah sehingga berpotensi jadi sasaran jika tidak dilarang tegas.
"Meski, diksi objek vital nasional seharusnya juga mengacu pada cagar budaya, namun ternyata hal ini belum dipahami sebagai kesepahaman bersama," tutur politisi cantik ini.
Senator yang baru-baru ini meraih survey tertinggi tingkat popularitas dan kesukaan Wakil Rakyat di Jawa Timur versi Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) itu, juga menyayangkan jika monumen bersejarah tidak dilindungi oleh aturan yang tegas.
Lia menyontohkan di negara lain, seperti Rumania, cagar budaya di pusat kota maupun pinggiran tetap terawat dan dijaga sebagai ikon bangsa. Fakta itu membuktikan faktor publik yang sangat menghormati bangunan bersejarah.
Baca juga: Senator Lia Istifhama: Reshuffle Kabinet Lumrah dalam Dinamika Pemerintahan
Sehingga menjadi sebuah konsensus atau pemahaman bersama untuk selalu merawat dan menjaga. Ataukah memang ada aturan yang tegas seperti larangan melakukan aksi demonstrasi di depan cagar budaya.
“Poinnya, jika upaya melindungi cagar budaya tidak bisa menjadi kesadaran umum, maka perlu intervensi pemerintah melalui perubahan aturan, yaitu dengan meletakkan diksi larangan demonstrasi di depan cagar budaya,” tegas Putri tokoh NU, KH Maskur Hasyim itu.
Lia melanjutkan, cagar budaya adalah saksi sejarah perjalanan bangsa. Sekali rusak, memori yang hilang tidak bisa digantikan. Karena itu, saya mendorong lahirnya aturan tegas, baik revisi UU maupun RUU baru, yang melarang aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya.
Sedangkan terkait aksi demo untuk menyampaikan pendapat umum, Ning Lia tidak menampik bahwa hal itu sebagai wajah demokrasi. Sebagai negara demokrasi, kesempatan menyampaikan pendapat di muka umum adalah keniscayaan.
Baca juga: Gus Yusuf Kerahkan Ratusan Santri Resik-Resik Gedung Grahadi
"Saya sendiri, dua kali turut ikut berorasi dalam aksi demo beberapa tahun lalu. Namun saya selalu menekankan pada diri sendiri, bahwa apapun yang kita suarakan, harus suara yang bersifat transformasi kebaikan, bukan provokasi," tegas Anggota Komite III DPD RI tersebut.
Tidak hanya itu, Ning Lia juga meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dalang perusakan Gedung Negara Grahadi. Menurutnya, penghukuman maksimal harus diberikan pada dalang kerusuhan demi efek jera sekaligus bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah bangsa.
Ia berharap dalang utama segera diketahui, ditangkap dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat, selain law enforcement melalui penindakan hukum oleh kepolisian.
"Karena ulah keji provokator, sangat merusak warisan sejarah sekaligus mencuci otak anak-anak yang terlibat kerusuhan. Bagi saya, ini sudah bagian kejahatan kemanusiaan,” pungkasnya.
Editor : Diday Rosadi