Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
KEMARIN saya mendapat kiriman kutipan berita yang berjudul “HNW Minta Pemerintah Tak Larang Umrah Backpacker” dari seorang kawan yang meminta saya untuk menanggapinya.
Baca juga: Merdeka dari Segala Bentuk Perbudakan Modern
Sepertinya kawan ini tahu betul bahwa saya termasuk orang yang kurang sependapat jika skema umroh backpacker atau umroh mandiri dilegalkan. Saya cermati berita yang bersumber dari detiknews kamis, 22 Feb 2024 11:24 WIB itu, dan berikut tanggapan saya:
Hidayat Nur Wahid (HNW), Wakil Ketua MPR RI, mengusulkan agar umrah backpacker dilegalkan. Alasannya sederhana: Arab Saudi sudah membuka pintu umrah dengan visa turis dan aplikasi Nusuk. Kalau Saudi bisa, kenapa Indonesia tidak? Sekilas pernyataan ini masuk akal. Tapi kalau dicermati, logika ini justru berbahaya.
Untuk diketahui bahwa antara Arab Saudi dan Indonesia itu beda peran dalam urusan umroh. Arab Saudi itu tuan rumah. Urusannya hanya soal siapa yang boleh masuk. Sedangkan Indonesia? Beda dong. Kita Indonesia ini pengirim jemaah.
Kita punya kewajiban melindungi warga negara yang pergi ke luar negeri. Kalau ada jemaah tersesat, overstay, kecopetan, bahkan sakit di tanah suci, siapa yang disalahkan? Tetap negara bukan?. Tidak ada pemerintah yang bisa lepas tangan dengan alasan bahwa “itu tanggung jawab individu.”
HNW percaya jemaah bisa bertanggung jawab sendiri. Tapi faktanya? Banyak yang bahkan tidak paham prosedur imigrasi, aturan kesehatan, apalagi seluk-beluk hukum di Saudi. Kalau ada masalah, ujung-ujungnya negara juga yang turun tangan. Itu artinya, kebebasan yang ditawarkan hanyalah ilusi._
Baca juga: Menangani Dugaan Korupsi Kuota Tambahan Haji Dengan Tetap Menjaga Kepentingan Diplomasi
Kita masih ingat ratusan ribu calon jemaah jadi korban travel umrah bodong. Itu pun dengan aturan ketat. Bayangkan jika aturan dilonggarkan dan semua orang boleh berangkat backpacker. Bukannya menutup ruang penipuan, justru membuka pintu lebih lebar.
Masalah travel bodong bukan karena aturan terlalu kaku. Masalahnya ada di pengawasan dan penegakan hukum yang lemah. Solusinya bukan melonggarkan regulasi, tapi memperkuatnya.
HNW membandingkan umrah dengan wisata religi agama lain. Analogi ini menyesatkan. Umrah itu ibadah mahdhah, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Tidak bisa disamakan dengan sekadar jalan-jalan ke situs suci. Menganggap sama justru merendahkan makna ibadah umrah itu sendiri.
Regulasi yang ada sekarang bukan untuk membatasi, tapi untuk melindungi. Ada prinsip good governance yang harus dijaga: ada akuntabilitas, transparansi, dan kepastian perlindungan bagi setiap jemaah. Kalau semua dilepas ke mekanisme backpacker, negara kehilangan kontrol. Yang rugi siapa? Umat sendiri.
Baca juga: Umroh Mandiri, Suara Siapa? Aspirasi dari Mana?
Usulan HNW memang terdengar populis: memberi kebebasan umat. Tapi kebebasan tanpa perlindungan adalah jebakan. Ujung-ujungnya negara dipaksa menanggung akibat yang lebih besar.
Kalau ingin memperbaiki tata kelola umrah, jalannya jelas: perketat pengawasan, tegakkan hukum untuk travel bodong, tingkatkan layanan biro resmi. Bukan justru melepas tanggung jawab negara dengan dalih mengikuti Saudi.
Negara harus hadir. Bukan untuk menghalangi umat beribadah, tapi untuk memastikan ibadah itu aman, tertib, dan penuh keberkahan.
Editor : Alim Perdana