Nusantara: Rasionalitas, Mitos, dan Kemunduran

ayojatim.com
Candi Borobudur. Foto/borobudursunrise.com

Catatan Harian: Abdul Rohman Sukardi

BERDASAR jejak artefak, bangsa Nusantara masa lalu adalah bangsa rasional. Sekaligus bangsa spiritual. Bukan pula bangsa mitos. Melainkan bangsa dengan sistem pengetahuan tinggi yang diekspresikan melalui simbolisme, mitologi, dan struktur budaya kompleks.

Baca juga: Pancasila: Sebuah Alternatif Etika Global untuk Peradaban yang Lebih Baik?

Rasionalitas bangsa Nusantara dibuktikan peninggalan arkeologis maupun teknologis.

Borobudur, Prambanan dan banyak candi lainnya bukti arkologis Teknik arsitektur yang sudah tinggi. Borobudur (abad ke-8 M): dibangun dengan 2 juta balok andesit, tanpa semen. Mengikuti prinsip geometri sakral dan struktur antisismik.

Bangunan Borobudur tersusun dalam sistem mandala kosmologi Buddhis. Akan tetapi pembangunannya mengikuti prinsip teknik sipil dan astronomi. Sistem drainase air dan perhitungan arah mata angin sangat akurat.

Bisa disimpulkan Borobudur dibangun ahli bangunan (arsitektur), matematikawan, dan kosmolog. Bukan oleh komunitas pemuja dewa.

Teknologi hidraulik sudah dikenal dalam pertanian Majapahit dan Bali. Sistem irigasi Subak di Bali berbasis logika kolektif dan ekologi. Disebut “demokrasi air”. Diakui UNESCO.

Kota Majapahit (Trowulan) punya saluran air, kolam, dan sistem tata kota terencana. Bukan mistik.

Astronomi sudah familiar dalam sistem navigasi bangsa Nusantara. Bangsa pelaut Austronesia (leluhur Nusantara) sudah mengarungi Samudra Pasifik selama ribuan tahun.

Menggunakan bintang, arus laut, dan sistem navigasi alami. Tradisi pelayaran dan teknologi perahu seperti jukung, pinisi, dan jong/jung menunjukkan pemahaman rasional tentang cuaca, arah, dan struktur kapal.

Bangsa Nusantara memiliki Sains Tradisional. Tercermin dari kalender pertanian dan pengobatan. Kalender Pranata Mangsa di Jawa dan sistem Wariga di Bali menunjukkan perhitungan cuaca, musim, dan pertanian yang presisi. Digunakan dalam penentuan waktu tanam, panen.

Berbasis observasi ilmiah jangka panjang. Di Jawa dikenal istilah ilmu “titen”. Pengamatan panjang. “Riset”, dalam bahasa modern.

Dalam pengobatan dikenal jamu, ramuan tradisional, hingga sistem Usada (pengobatan Bali). Merupakan hasil eksperimen empiris dan transmisi pengetahuan turun-temurun. Kombinasi empiris dan spiritual.

Masyarakat Nusantara juga mengenal teknologi musik yang amat kompleks. Seperti tercermin dalam Gamelan dan banyak alat musik lainnya.

Memiliki beragam tradisi kuliner sehat yang kaya. Budaya fashion dan arsitektur bangunan ramah alam. Teknik edukasi yang menarik, seperti melalui media Wayang.

Mitologi bukan bukti irasional. Melainkan cara mentransmisikan nilai, filsafat, dan ilmu dalam bentuk yang komunikatif. Sebagaimana cerita wayang: metafora nilai etika dan psikologi manusia. Mitologi merupakan “sains spiritual dan sosial” akan tetapi dibungkus simbol. Bukan takhayul.

Teknologi perang bangsa Nusantara juga juga sudah maju. Mampu melumpuhkan pasukan terkuat bangsa adidaya pada zamannya. Sebanyak 30 ribu pasukan Kaisar Kubilai Khan gagal menakhlukkan Singasari.

Ribuan armada dan puluhan ribu prajurit Nusantara masih terekam oleh catatan-catatan penjelajah bangsa Portugis. Tentang Armada Perang Adipati Unus melawan Portugis. Juga Ratu Kali Nyamat ketika ekspedisi ke Malaka.

Baca juga: Navigasi Diplomasi Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Timur Tengah

Pertanyaan mendasar kenapa tradisi sains bangsa Nusantara itu ber(di)geser menjadi bersifat klenik. Atmosfere berfikir masyarakat dililit mitologi yang irasional.

Eksistensi kisah Nyi Rodo Kidul (Yogya), Leak dan Rangda-Bali, Pusaka Bertuah dan Keris Sakti, Danyang penunggu tempat. Narasi kisah Sabdo Palon-Noyo Genggong yang amat janggal.

Bagaimana masyarakat Nusantara yang sudah familiar dengan Bhineka Tunggal Ika sejak berabad lampau, kemudian mengalami benturan oleh keputusan Raja Majapahit memeluk Agama Islam.

Sabdo palon dikisahkan kecewa keputusan rajanya itu dan akan menuntut balas. Kisah-kisah itu bisa diduga sebagai narasi disintegrasi belaka.

Kemegahan tradisi sains bangsa Nusantara kemudian tersisa sebatas seni kesurupan. Seperti Kuda Lumping (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Reog Ponorogo (Jawa Timur): ritual mengangkat beban berat. Debus (Banten): kebal senjata. Barong dan Rangda (Bali): dalam ritual Calonarang, para penari bisa kesurupan roh Barong (kebaikan) atau Rangda (kejahatan).

Sigale-gale (Batak): ritual pemanggilan arwah leluhur dengan boneka kayu yang bisa bergerak. Tari Sanghyang (Bali): tari kesurupan suci untuk menolak bala - penari menari di bara api dalam keadaan trance.

Sementara budaya sains yang sudah dikembangkan para pendahulu bangsa Nusantara tidak diperhatikan. Tidak dianggap sebagai otentik Nusantara. Disisakan mitos. Tidak dipelajari dan dikembangkan lagi.

Tradisi klenik justr diajukan sebagai “pewaris sah” tradisi dan budaya Nusantara.

Tradisi bangsa agraris dan bangsa pelaut tidak ditumbuhkan dalam bentuk kemegahan pada era modern. Bangsa Nusantara seharusnya memiliki armada laut canggih dan modern pada saat ini. Juga pusat pangan global berbasis riset. Termasuk pengobatan herbal berbasis riset.

Baca juga: APBD untuk Kuliah Gratis, Mungkinkah Solusi Krisis SDM di Indonesia?

Maka bisa dimaklumi kenapa bangsa Nusantara mengalami kemunduran. Tidak segera bisa bangkit dari keterpurukan. Karena telah meninggalkan tradisi aslinya. Tradisi otentiknya sebagai bangsa cinta pengetahuan yang rasional dan logis.

Kesadaran kemegahan masa lalu bangsa dijejali tradisi klenik yang dikesankan sebagai warisan otentik kemegahan bangsa Nusantara. Tradisi sains ditinggalkan.

Tidak bisa diketahui secara pasti, sejak kapan pergeseran tradisi dan budaya sains itu bergeser menjadi budaya klenik. Jika menelisik jejak Kerajaan Demak dan Kalinyamat masih mampu memiliki armada laut besar untuk melawan Portugis di Malaka. Bisa diduga sejak era koloialis Eropa itulah budaya klenik membesar.

Untuk menutupi ketidakberdayaan melawan kolonialis Eropa di satu sisi dan untuk merawat harapan kemegahan bangsa pada masa depan, dibuatlah cerita bahwa bangsa ini tidak kecil. Melalui beragam mitos. Beragam tradisi klenik sebagai cerminan bangsa kuat.

Seperti kendali laut kidul, makan beling, kebal, dll. Intinya sebuah pesan bahwa akan ada masa kebangkitan dan kemegahan itu tiba. Bukan bangsa lemah.

Kisah tentang Jongko Jayabaya, sebenarnya tidak ada bedanya dengan spirit kelahiran Imam Mahdi dalam eskatologi Islam. Atau tentang ajaran bahwa setiap satu abad akan lahir pembaharu. Intinya sebuah harapan akan lahir generasi pembebas dari masa suram.

Semua itu tentang cara merawat harapan. Sementara kebangkitan bangsa Nusantara sendiri harus dengan aksi. Tidak bisa dengan sebatas harapan.

Bangsa Nusantara harus kembali ke jatidirinya sebagai pecinta sains. Bangsa rasional. Harapan yang dirawat melalui mitologi itu baru bisa diwujudkan.

Mitologi sendiri tidak bisa mewujudkan kemajuan itu. Kesadaran akan tradisi ilmu pegetahuan dan teknologi jawabannya.

Editor : Amal Jaelani

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru