Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi - 18 Juli 2025
PERADABAN global saat ini menghadapi krisis multidimensi. Ekstrimisme agama dan nasionalisme sempit memicu krisis identitas dan intoleransi.
Baca juga: Pancasila, Piagam Jakarta, dan Umat Islam: Tafsir Kebangsaan yang Terus Bertumbuh
Ketimpangan ekonomi global yang ekstrem, kerusakan lingkungan yang meluas, dekadensi moral dan spiritual, serta kekurangan nilai-nilai bersama (shared global values) menjadi tantangan utama.
Ekstrimisme, baik agama maupun etnis, diperparah oleh fragmentasi sosial akibat media digital. Penyebaran informasi yang tidak akurat dan algoritma media sosial mempercepat polarisasi dan konflik.
Ketimpangan ekonomi, seperti yang diungkap Oxfam (2024), menunjukkan konsentrasi kekayaan yang luar biasa di tangan segelintir orang, sementara sebagian besar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan.
Sistem ekonomi global yang ada seringkali mendorong eksploitasi tenaga kerja murah di negara berkembang.
Krisis lingkungan ditandai dengan pemanasan global, kerusakan ekosistem, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Laporan IPCC (2023) dan WWF (2022) menunjukkan dampak serius dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia dan planet ini.
Dekadensi moral dan spiritual ditandai dengan materialisme dan konsumerisme ekstrem, hilangnya nilai kemanusiaan, dan spiritualitas yang dangkal.
Baca juga: Navigasi Diplomasi Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Timur Tengah
Ketiadaan nilai-nilai bersama tercermin dalam fragmentasi nilai global dan kelemahan lembaga multilateral. Konflik kepentingan geopolitik seringkali menghambat upaya internasional dalam mengatasi masalah global.
Ideologi dominan seperti liberalisme dan kapitalisme, serta sosialisme-komunisme, telah menghasilkan berbagai masalah. Fundamentalisme agama dan nasionalisme sempit memperuncing konflik.
Dunia membutuhkan alternatif ideologi yang inklusif, adil, dan mampu mengatasi perbedaan.
Apakah Pancasila dapat menjadi alternatif tersebut? Banyak cendekiawan muslim Indonesia, seperti Dr. Nurcholis Madjid, menganggap Pancasila sebagai elaborasi Piagam Madinah, sebuah sistem sosial-kemasyarakatan yang diterapkan Rasulullah Muhammad SAW.
Prinsip-prinsip Pancasila—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan—memiliki kesamaan dengan Piagam Madinah dan mengandung nilai-nilai universal.
Baca juga: APBD untuk Kuliah Gratis, Mungkinkah Solusi Krisis SDM di Indonesia?
Namun, agar Pancasila dapat menjadi alternatif ideologi global, beberapa tantangan harus diatasi. Pertama, perlu usaha menerjemahkan nilai-nilai Pancasila ke dalam bahasa internasional tanpa kehilangan maknanya.
Kedua, Indonesia perlu mempromosikan Pancasila sebagai model ideologi dunia melalui diplomasi publik.
Ketiga, inkonsistensi penerapan Pancasila di dalam negeri harus diatasi. Keempat, perlu adanya ekosistem pemikiran filsafat Pancasila di tingkat internasional. Kelima, reformulasi Pancasila dalam bahasa universal perlu dilakukan.
Jika tantangan ini dapat diatasi, Pancasila dapat menjadi soft power Indonesia di kancah internasional, menjadi model negara muslim moderat, dan perekat bagi negara-negara berkembang.
Editor : Alim Perdana