Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
RANCANGAN Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini beredar luas di kalangan pelaku industri haji dan umrah. Naskah ini menimbulkan harapan, tetapi juga kegelisahan.
Baca juga: Kampung Indonesia di Makkah: Diplomasi Spiritual Era Prabowo
Akankah regulasi ini membuka babak baru pelayanan yang lebih profesional dan akuntabel, atau justru menjadi instrumen sentralisasi yang menyingkirkan peran pelaku usaha?
Munculnya Kementerian Baru dan Sentralisasi Ekstrem
Salah satu poin paling mencolok adalah rencana pembentukan Kementerian Urusan Haji dan Umrah. Kementerian ini akan menggantikan peran Kementerian Agama, dengan wewenang luas mulai dari diplomasi, akreditasi, hingga penyidikan.
Bahkan disebutkan akan membentuk struktur hingga tingkat kecamatan. Jika tidak dirancang secara cermat, ini berpotensi melahirkan birokrasi baru yang tumpang tindih dan memberatkan.
Sentralisasi ini diperparah dengan penghapusan Pasal 107, yang selama ini menjadi dasar koordinasi antarinstansi. Kini, semua dikonsolidasikan dalam satu tangan. Risiko politisasi, monopoli layanan, dan lambatnya pengambilan keputusan tidak bisa diabaikan.
Potensi Marginalisasi PIHK dan PPIU
Dalam struktur baru ini, tidak ada jaminan eksplisit mengenai peran Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Pasal-pasal partisipasi masyarakat (Pasal 110–111) hanya menyebut "masyarakat" dan "KBIHU", tanpa mengafirmasi posisi formal penyelenggara resmi umrah dan haji khusus. Ini menjadi sinyal lemahnya pengakuan terhadap peran strategis pelaku usaha sebagai garda depan pelayanan jemaah non-reguler.
Lebih jauh, batas kuota haji khusus maksimal 8% (Pasal 8 ayat 4), jika diterapkan secara kaku, bisa menghambat inovasi dan pertumbuhan usaha berbasis pelayanan premium.
Beban Administratif dan Ketidakpastian Hukum
RUU ini memuat sejumlah kewajiban tambahan yang membebani PIHK dan PPIU, seperti: pelaporan visa non-kuota; kewajiban kontrak tertulis dengan jemaah; kewajiban menyediakan asuransi setara Bipih; dan persyaratan pemberangkatan minimal 45 jemaah.
Namun, tidak disebutkan insentif atau kompensasi atas beban tersebut. Bahkan izin operasional PIHK dan PPIU yang saat ini berlaku hanya diberi masa transisi 2 tahun tanpa penjelasan rinci soal mekanisme penyesuaian. Ini menciptakan ketidakpastian hukum dan kekhawatiran akan gelombang pencabutan izin secara sepihak.
BLU dan Ancaman Pasar Tertutup
Baca juga: Menyempurnakan Akad untuk Haji Furoda, Sebuah Gagasan
Melalui Pasal 11 ayat 3 dan pasal-pasal turunan lainnya, pemerintah membuka peluang besar bagi pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) di sektor haji dan umrah. BLU dapat bekerja sama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan mitra tertentu.
Namun, tanpa mekanisme keterlibatan pelaku usaha swasta yang setara, BLU bisa menjadi pemain dominan yang menggerus ruang usaha PIHK dan PPIU, terutama yang berskala kecil-menengah.
Lemahnya Mekanisme Akuntabilitas Negara
Ironisnya, meski negara mengambil alih lebih banyak peran, mekanisme evaluasi terhadap penyelenggara negara tidak dijabarkan secara tegas. Justru yang dipertegas adalah sanksi terhadap pelaku usaha, termasuk ancaman pidana jika tidak melaporkan visa non-kuota atau mengambil setoran tanpa hak (Pasal 123–124).
Sementara kewenangan penyidikan yang luas oleh penyidik PNS menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi abuse of power.
Harusnya Jangan Represif, Tapi Kolaboratif
Undang-Undang seharusnya bukan alat untuk meminggirkan, tetapi menjadi instrumen kolaborasi dan fasilitasi. Pemerintah dan DPR RI perlu menyerap masukan dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah secara terbuka dan jujur.
Baca juga: Karbala dalam Cahaya Ahlus Sunnah: Seri Refleksi Muharram
Tiga prinsip perlu dijaga: keseimbangan peran negara dan swasta demi efisiensi dan inovasi layanan; kepastian hukum bagi pelaku usaha agar bisa berinvestasi dan berkembang; dan afirmasi peran PIHK dan PPIU sebagai bagian integral dari ekosistem pelayanan jemaah.
Sebagai bangsa yang besar dengan jutaan umat Islam yang berhaji dan umrah setiap tahun, Indonesia memerlukan tata kelola yang kuat dan modern. Tapi kekuatan itu tidak lahir dari pemusatan kekuasaan, melainkan dari koordinasi cerdas, partisipasi luas, dan akuntabilitas bersama.
Catatan Penutup
Kita berharap RUU ini menjadi jembatan kemajuan, bukan sumber kegaduhan. Maka mari kawal dengan niat baik, ilmu yang jernih, dan keberanian menyuarakan yang benar. Sebab haji dan umrah bukan sekadar urusan birokrasi, tetapi juga ibadah umat yang suci dan penuh nilai spiritual. Sudah sepatutnya dikelola dengan adil, amanah, dan profesional.
Saatnya semua asosiasi penyelenggara haji dan umrah bersatupadu, menyamakan persepsi dan menyatukan arah gerakan, memberikan masukan dan rekomendasi yang konstruktif kepada pembuat regulasi. Agar undang-undang yang dihasilkan benar-benar bermanfaat dan bermaslahat untuk semua pihak.
Dan yang lebih penting lagi, jangan memberi peluang terjadinya potensi masalah di kemudian hari. Karena haji dan umrah sejatinya adalah ibadah yang harus dijaga kemurniannya, dan PPIU/PIHK adalah mitra pemerintah sekaligus pelayan umat yang menjadi tamu Allah menuju jalan mabrur. Karenanya harus dilindungi oleh undang-undang.
Editor : Alim Perdana