Pengendalian Tembakau di Indonesia: Antara Regulasi, Ekonomi dan Kesehatan Publik

ayojatim.com
Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam pengendalian tembakau. Foto: Ali Masduki/Ayojatim

SURABAYA - Indonesia menghadapi dilema dalam pengendalian tembakau. Meskipun regulasi dan upaya promosi kesehatan telah dilakukan, prevalensi perokok, terutama di kalangan remaja, masih tinggi.

Prof. Dr. Santi Martini, dr., MKes., Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR), memaparkan tantangan dan solusi dalam mengatasi masalah ini.

Baca juga: Minat Investasi Sukuk Menurun, Pakar Soroti Rendahnya Literasi dan Minimnya Inovasi

Prof. Santi menjelaskan bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam pengendalian tembakau. Hampir 80ri 514 kabupaten/kota di Indonesia telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

"Secara kuantitatif ini menggembirakan," katanya. Namun, tantangannya terletak pada implementasi yang belum tegas. Prevalensi perokok di Indonesia masih di atas 20%, dan jumlah perokok remaja terus meningkat.

Salah satu tantangan utama adalah aktivitas promosi rokok yang masih gencar, terutama menyasar anak muda. Persaingan juga terjadi dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, karena pengendalian tembakau memerlukan pertimbangan lintas sektor, khususnya sektor ekonomi.

Prof. Santi menganalisis situasi ini berdasarkan kerangka MPOWER (Monitor, Protect, Offer, Warn, Enforce, Raise prices), sebuah instrumen evaluasi pengendalian tembakau.

Baca juga: Infrastruktur Rusak Akibat Truk ODOL, Pakar UNAIR Desak Ketegasan Negara

"Indonesia masih jauh dari berhasil, terutama dalam hal larangan iklan dan sponsor rokok (TAPS) dan penetapan harga rokok yang tinggi," jelasnya.

Tarif pajak rokok yang rendah membuat rokok mudah diakses oleh remaja, meningkatkan risiko munculnya perokok pemula dan memperburuk konsumsi rokok di kalangan muda, termasuk rokok elektrik.

Dampaknya terhadap sistem kesehatan nasional sangat signifikan. "Jika tren merokok remaja terus meningkat, beban sistem kesehatan akan semakin berat," tegas Prof. Santi.

Baca juga: Dosen UNAIR Apresiasi Kebijakan Pembatasan Jam Malam Anak di Surabaya Sebagai Langkah Positif

Beban penyakit tidak menular terkait konsumsi rokok sudah sangat tinggi. Tanpa intervensi preventif yang memadai, sistem kesehatan akan kewalahan, dan anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk promosi dan pencegahan akan tersedot untuk penanganan penyakit yang sebenarnya dapat dicegah.

Sebagai solusi, Prof. Santi merekomendasikan kebijakan pajak rokok yang progresif dan tegas. Peningkatan tarif cukai secara berkala dan signifikan, disertai pengawasan distribusi, akan membatasi akses anak dan remaja terhadap rokok.

Pendapatan dari cukai rokok sebaiknya dialokasikan untuk mendukung program kesehatan masyarakat. Dengan strategi yang komprehensif dan implementasi yang konsisten, Indonesia dapat lebih efektif dalam pengendalian tembakau dan melindungi kesehatan publik.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru