Main-Main dengan Haji

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Orwil Jatim

KALAU saya boleh jujur, ini berita paling tidak enak yang saya baca bulan ini: seorang ustadz, yang ceramahnya ditonton jutaan orang, dimintai keterangan oleh KPK soal kuota haji. Ustadz Khalid Basalamah, namanya. Saya yakin beliau tidak korupsi. Tapi beliau dimintai keterangan sebagai saksi karena penyidik KPK percaya: beliau tahu sesuatu. Dan beliau terbukti kooperatif.

Baca juga: Benarkah Ada yang Salah dalam Pemeriksaan Ustadz Khalid Basalamah?

Sebetulnya sejak tahun lalu kita semua pada tahu bahwa haji 2024 ada masalah. Pemeriksaan oleh KPK saat ini menandakan memang benar ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang keliru. Ada sesuatu yang dilanggar. Entah oleh siapa. Dan untuk itulah KPK meminta keterangan sejumlah pihak yang dianggap mengetahui, termasuk Ustadz Khalid Basalamah dipanggil sebagai saksi.

Dan, izinkan saya bilang: sepertinya ada yang sedang main-main dengan haji. Atau setidaknya: ada oknum yang sedang menjadikan haji sebagai proyek yang dapat menciptakan peluang untuk memperoleh sesuatu.

Waktu zaman Rasulullah SAW, orang naik haji itu taruhannya nyawa. Lautan pasir. Padang tandus. Unta dan dehidrasi. Lalu tiba di Mekkah, hanya untuk bersujud di hadapan Ka’bah, memenuhi panggilan Allah SWT dengan dada penuh cinta.

Sekarang? Haji di Indonesia sudah berubah jadi sistem antrean seperti nomor kartu kredit. Ada kuota. Ada yang jalur cepat. Ada yang bisa dipercepat lagi, asal tahu siapa yang bisa dilobi dan bisa "mengatur." Taruhannya bukan lagi lautan pasir dan sebagainya seperti zaman Rasulullah, tapi kuota yang bisa dimainkan.

Seperti yang semua pada tahu. 2024, tahun lalu, ribuan orang tiba-tiba bisa berangkat lewat jalur khusus. Padahal ada ratusan ribu lainnya yang sudah bertahun-tahun antre. Mereka hanya bisa gigit jari. Dan inilah yang sedang diselidiki KPK. Apa yang terjadi? Siapa yang mengatur? Dan siapa yang menikmati?

Bagi kita umat Islam, tentu kita semua sedih. Termasuk saya yang kebetulan terlibat dalam asosiasi resmi penyelenggara haji, yang kebetulan juga sebagai aktivis ICMI. Saya tahu betul: niat para penyelenggara haji itu baik. Tapi sistem kadang tidak bersih. Kadang mudah disusupi titipan-titipan.

Maka saya usulkan: sudah saatnya digitalisasi total untuk sistem kuota. Tidak boleh ada ruang gelap. Tidak boleh ada daftar alternatif. Dan pengawasnya? Jangan cuma dari Kementerian Agama. Harus ada lembaga independen. Atau lebih bagus lagi: masyarakat sipil dilibatkan. Tokoh agama. Ulama. LSM. Karena kalau kuota haji hanya diatur oleh segelintir orang, tanpa transparansi, maka tunggu saja kekacauan berikutnya.

Baca juga: Regulasi Haji Perlu Naik Haji

Saya tahu, tidak semua masalah selesai dengan sistem. Karena sistem dibuat oleh manusia. Dan manusia bisa lupa, bisa tergoda, bisa khilaf. Maka harus ada pendidikan etik. Harus ada penguatan nilai. ASN atau pejabat haji bukan cuma perlu diajari SOP, tapi juga harus dipastikan paham tentang "amanah."

Pemeriksaan terhadap Ustadz Khalid seharusnya tidak membuat kita kaget. Sebaliknya justru harus jadi momentum muhasabah nasional. Bahwa kita pernah khilaf. Bahwa ada yang harus diperbaiki. Dan bahwa haji, sepenuhnya, bukan soal bisnis. Tapi ibadah.

Kalau ada reformasi besar-besaran, saya hanya ingin titip satu: jangan nodai rumah Tuhan. Reformasi pelayanan haji mesti harus berorientasi ibadah, berharap ridho-Nya. Dengan kesadaran itu saya yakin godaan untuk bermain-main dengan haji akan dapat ditekan dan dilawan.

Perlukah Moratorium

Ada satu hal lagi yang jarang dibahas secara serius: soal dana talangan haji. Banyak orang yang tiba-tiba daftar haji. Bukan karena mendadak mampu, tapi karena ada bank syariah yang menawarkan “kemudahan.” Dana talangan. Istilah manis untuk utang. Orang belum punya cukup uang, tapi tetap bisa dapat nomor porsi. Karena kekurangannya dibantu oleh pembiayaan bank. Cicilannya? Entar.

Baca juga: Akad-Akad Transaksi Haji: Tinjauan Fiqh Muamalah untuk Menjaga Keberkahan Ibadah

Pertanyaannya: kalau pakai talangan, apa sudah disebut mampu? Bukankah syarat haji itu istitha’ah, kemampuan lahir dan batin? Kalau jawabannya iya, maka antrean haji kita ini bisa jadi fiktif. Jumlahnya besar, tapi isinya sebagian belum tentu benar-benar siap secara finansial. Ini bukan cuma soal fikih, ini soal keadilan. Yang siap berangkat, bisa jadi malah tertahan. Yang belum tentu mampu, bisa jadi malah ambil porsi duluan lewat dana talangan.

Maka, saya usulkan: perlu ada moratorium sementara dana talangan haji. Kita evaluasi dulu sistemnya. Kita pastikan hanya yang benar-benar mampu secara syar’i dan logistik yang mendaftar. Ini bukan soal mempersulit. Tapi menyucikan. Mengadilkan. Dan menyelesaikan masalah antrean yang tampak mengular panjang.

Karena daftar haji itu bukan semata booking kursi. Tapi menyatakan kesiapan menunaikan panggilan Allah. Harus jujur di hadapan-Nya. Kalau sejak daftar saja sudah manipulatif, bagaimana kita berharap hajinya mabrur?

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru