Oleh: Ulul Albab
Mantan Rektor PTS Surabaya, Mantan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
KECERDASAN buatan (AI) telah berevolusi melampaui sekadar teknologi; ia kini menjadi kekuatan budaya yang membentuk cara manusia berpikir, membaca, dan menulis.
Baca juga: Mengulik Keunggulan Universitas Swasta, PTS Mana yang Unggul di Era Digital dan AI?
Kemampuan AI dalam menghasilkan artikel, menerjemahkan, bahkan menciptakan puisi dan naskah drama dalam hitungan detik sungguh menakjubkan.
ChatGPT, DeepL, Grammarly, dan QuillBot hanyalah sebagian contoh teknologi AI yang telah merevolusi penulisan dan penerjemahan. Banyak korporasi dan penerbit pun memanfaatkan AI untuk proofreading, penerjemahan simultan, dan pengembangan konten kreatif.
Lalu, bagaimana masa depan jurusan Sastra Inggris dan Jepang di tengah revolusi AI ini? Artikel ini bertujuan meyakinkan penyelenggara pendidikan bahwa jurusan sastra tetap relevan. Justru di tengah otomatisasi, nilai sastra semakin diuji.
Sastra bukan hanya komunikasi indah, tetapi juga wadah ekspresi, emosi, kritik, dan pencarian makna. AI mungkin bisa meniru struktur puisi Shakespeare, namun belum tentu memahami luka eksistensial Hamlet—tokoh legendaris dalam tragedi Shakespeare.
AI mungkin mampu menyusun ulang solilokui "To be or not to be" dengan tata bahasa sempurna, tetapi memahami pergulatan batin Hamlet tentang makna hidup, absurditas eksistensi, dan dilema moral, merupakan hal yang belum dapat dicapai AI.
Mengapa? Karena pergulatan batin tersebut bukan sekadar pemrosesan teks, melainkan tentang kesadaran, rasa takut, kehilangan, dan absurditas keberadaan—hal-hal yang tidak dimiliki AI.
Keunikan Sastra yang Tak Tergantikan
Yang tak tergantikan dari kajian sastra adalah kedalaman tafsir, sensitivitas budaya, dan kepekaan terhadap konteks sosial dan sejarah.
Jurusan Sastra Inggris tetap relevan karena mengajarkan tidak hanya penggunaan bahasa, tetapi juga bagaimana bahasa membentuk peradaban. Hal serupa berlaku untuk Sastra Jepang.
Tradisi haiku, tanka, dan narasi spiritual atau postmodern ala Haruki Murakami merupakan tantangan bagi AI. Bagaimana mesin dapat menangkap nuansa wabi-sabi dalam puisi Basho, atau paradoks eksistensial dalam novel-novel Murakami yang kaya simbolisme dan lapisan makna?
Baca juga: Refleksi Ringan Tentang Jurusan Akuntansi dan Manajemen di Era AI
Bisakah mesin memahami kekosongan sebagai keindahan, atau keheningan sebagai komunikasi yang dalam? Ini adalah medan refleksi budaya yang menuntut pemahaman mendalam, bukan sekadar pemahaman struktur bahasa.
Intinya, fakultas sastra, termasuk jurusan Inggris dan Jepang, tidak akan kehilangan eksistensi sepenuhnya. Namun, perlu adaptasi terhadap bagian-bagian yang dapat diakses oleh teknologi AI.
Forum diskusi grup (FGD) yang diikuti penulis menunjukkan optimisme bahwa Sastra Jepang memiliki peluang besar dalam digital storytelling lintas budaya, penerjemahan anime/manga berkualitas tinggi, dan diplomasi budaya berbasis naratif.
Reformasi Kurikulum Sastra di Era AI
FGD di forum ICMI merekomendasikan beberapa strategi untuk menjaga relevansi fakultas sastra:
1. Integrasi Kajian Digital dan Linguistik Komputasional: Mahasiswa perlu mengenal Natural Language Processing (NLP), AI-generated literature, dan kritik algoritma terhadap teks.
Baca juga: Menyatukan Teknologi dan Kemanusiaan dalam Pendidikan Tinggi di Era AI
2. Literasi Budaya Lintas Media: Sastra tidak lagi hanya hidup di halaman buku. Cerita kini ada di film, game, media sosial, dan podcast. Kurikulum perlu memasukkan kajian naratif digital agar mahasiswa siap menjadi kreator lintas medium.
3. Penguatan Etika dan Filsafat Bahasa: Di era hoaks dan post-truth, sastra menjadi alat refleksi. Mata kuliah seperti "Etika Representasi dalam Narasi Digital" atau "Kritik Sastra dalam Era Disinformasi" perlu diutamakan.
4. Kolaborasi dengan Industri Kreatif dan Teknologi: Jurusan sastra harus berjejaring dengan dunia film, periklanan, penerbitan, dan pengembang AI. Alumni dapat diarahkan menjadi editor konten AI, kurator narasi digital, atau analis budaya algoritma.
5. Pendekatan Interdisipliner: Sastra perlu terbuka terhadap ilmu komunikasi, psikologi, studi media, bahkan teknik informatika. Penelitian interdisipliner seperti "AI dalam Karya Fiksi Distopia" atau "Representasi Perempuan dalam Chatbot" dapat menjadi daya tarik baru.
Kesimpulannya, di tengah transformasi digital, sastra tidak kehilangan relevansi. Justru, di saat manusia makin asing dengan dirinya sendiri akibat dominasi teknologi, karya sastra menawarkan ruang kontemplasi dan kemanusiaan.
Editor : Alim Perdana