Refleksi untuk Penyelenggara Pendidikan Tinggi

Menguatkan Peran Jurusan Administrasi Publik di Era AI

ayojatim.com
Foto: Ilustrasi/generate image ai

TULISAN ini dipersembahkan sebagai bahan refleksi bagi para penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di bidang administrasi publik, agar arah kurikulum dan layanan pendidikannya tetap relevan dengan tuntutan Revolusi Kecerdasan Buatan (AI) yang kian cepat.

Di tengah transformasi digital dan ekspansi kecerdasan buatan, jurusan Administrasi Publik dihadapkan pada dua pilihan besar: berbenah agar tetap relevan, atau tertinggal dalam pusaran otomatisasi.

Baca juga: Mengakhiri Monopoli, Membangun Pelayanan Haji yang Prima

Namun sebenarnya, peluang justru terbuka lebar jika jurusan ini mampu membaca zaman dengan jernih dan menjawab tantangan dengan berani.

Peluang Baru di Tengah Otomatisasi

Dalam berbagai diskusi yang bisa saya elaborasikan, sejatinya ada banyak peluang baru dari jurusan Admninistrasi Publik di tengah Otomatisasi dampak dari perkembangan mesin AI. Berikut saya tuliskan sebagian diantaranya:

Pertama, kebutuhan akan governance yang adaptif kini semakin tinggi. AI memang menawarkan kecepatan dalam pengambilan keputusan, tetapi tetap membutuhkan kerangka tata kelola yang kokoh dan adil. Lulusan Administrasi Publik berperan penting dalam merancang regulasi, tata kelola data, serta kontrol etis atas penggunaan AI di sektor publik.

Kedua, transformasi digital menuntut hadirnya data-driven leadership yang tidak kehilangan arah moralnya. Kepemimpinan publik hari ini perlu berbasis data, tetapi jangan lupa, harus tetap menjunjung nilai-nilai keadilan, akuntabilitas, dan transparansi.

Lulusan administrasi publik diharapkan mampu menjadi penafsir data yang memahami konteks sosial, bukan sekadar operator pengguna dashboard.

Ketiga, pelayanan publik digital tetap memerlukan sentuhan manusia. AI dapat mengotomatiskan sistem, tapi tidak menggantikan empati.

Di sinilah lulusan administrasi publik memiliki peran penting dalam mendesain layanan digital yang inklusif, adil, dan sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan. Konsep-konsep seperti human-centered AI dan value-sensitive design menjadi sangat relevan.

Tantangan Serius yang Mengintai

Tentu, potensi tersebut tidak hadir tanpa tantangan. Dalam artikel ini ijinkan saya mengupas agak singkat sejumlah tantangan serius yang mengintai para pengelola jurusan administrasi public dalam menghadapi terpaan AI. Berikut antara diantaranya:

Pertama, banyak fungsi administratif rutin kini tergantikan oleh sistem otomatis. Pengarsipan, manajemen dokumen, pemrosesan surat, hingga pengawasan berbasis sensor. Semua mulai dikuasai oleh perangkat lunak. Lulusan yang hanya menguasai keterampilan administratif konvensional sangat mungkin tersingkir.

Kedua, keterbatasan literasi digital di lingkungan pendidikan administrasi publik menjadi penghambat besar. Masih banyak kurikulum yang belum mengenalkan dasar-dasar analitik data, pemrograman kebijakan, atau isu etika AI. Padahal, keterampilan ini mulai menjadi syarat minimum dalam banyak jabatan birokrasi modern.

Baca juga: Mengantisipasi Penyelenggaraan Haji 2026, Peluang dan Tanggung Jawab Strategis Indonesia

Ketiga, ada jurang lebar antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Banyak teknologi publik dibangun tanpa mempertimbangkan dampak sosial jangka panjang. Inilah tantangan utama yang seharusnya dijawab oleh jurusan administrasi publik dengan perspektif etik, sosiologis, dan kebijakan yang kuat.

Langkah Strategis Pendidikan Tinggi

Menghadapi realitas ini, penyelenggara pendidikan tinggi harus mengambil langkah strategis agar jurusan Administrasi Publik tetap relevan dan bahkan menjadi pelopor transformasi.

Pertama, redesign kurikulum adalah langkah utama. Mata kuliah baru seperti Etika dan Tata Kelola AI, Analitik Kebijakan Publik, Pelayanan Publik Digital, serta Manajemen Proyek Teknologi perlu diintegrasikan ke dalam struktur pendidikan.

Kedua, dorong kolaborasi lintas disiplin. Mahasiswa administrasi publik sebaiknya diberi ruang untuk belajar dari ilmu komputer, data science, dan komunikasi digital. Program minor atau kelas multidisipliner bisa menjadi jembatan yang kuat. Ini bisa dilakukan dengan berkolaborasi dengan jurusan computer (IT) di lembaga yang sama atau dengan Lembaga lainya.

Ketiga, perbanyak projek dan magang di instansi digital. Mahasiswa perlu diperkenalkan langsung dengan dinamika pelayanan publik digital seperti smart city, e-government, atau sistem pelayanan berbasis aplikasi.

Keempat, perkuat literasi etik dan sosial di setiap proses pembelajaran. AI bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal siapa yang diuntungkan dan siapa yang mungkin dikorbankan. Pemahaman ini penting agar lulusan tidak sekadar menjadi operator teknologi, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan.

Baca juga: Umrah Mandiri di Tengah Ketatnya Regulasi: Masih Bisakah?

Kelima, dorong riset inovatif dosen dan mahasiswa di bidang birokrasi digital, tata kelola teknologi, dan pelayanan publik berbasis AI. Kampus perlu menjadi laboratorium transformasi, bukan sekadar pengikut tren.

Termasuk juga dorong dosen untuk mengikuti perkembangan AI dan mau dengan rajin membuat tulisan-tulisan bidang AI yang relevan dengan jurusan administrasi public, untuk pengenalan dan promosi ke masyarakat luas, bahwa jurusan administrasi public sudah berbenah.

Era AI bukan ancaman bagi Administrasi Publik. Tapi bagaimana caranya? Ini catatanya: asal jurusan ini bersedia membuka diri, mengubah paradigma, dan menjadi mitra strategis dalam membangun tata kelola yang cerdas dan manusiawi.

Mari bersama memastikan bahwa teknologi tidak menjauhkan manusia dari pelayanan, melainkan memperkuat kehadiran negara untuk semua. Dan terpenting, jangan hanya diskusi tapi segera aksi dan eksekusi.

Oleh: Ulul Albab
Dosen/Konsultan/Observer Kebijakan Publik
Ketua ICMI Jawa Timur

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru