DI MANA titik puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji? Banyak yang menjawab: di Arafah. Dan memang, Rasulullah SAW bersabda, “Al-hajju ‘Arafah”. Artinya inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah.
Tapi pengalaman spiritual seorang haji tidak selesai di sana. Justru ia berlanjut, menembus dimensi yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih menguji, di tiga tempat suci, yaitu: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Tiga titik itulah yang dikenal dengan singkatan Armuzna.
Baca juga: Fenomena Haji Furoda: Analisis dari Perspektif Spiritualitas, Status Sosial, dan Tantangan Regulasi
Saya lebih suka menyebutnya bukan sekadar nama lokasi, tapi sebagai titik puncak penghambaan sejati. Tempat di mana manusia diuji pada lapisan terdalam kemanusiaannya. Ego, kesabaran, pengorbanan, keikhlasan.
Semua diperas hingga tetes terakhir. Maka siapa yang lulus di Armuzna, insyaAllah ia pulang bukan hanya membawa gelar “Haji”, tapi juga membawa jiwa yang lebih tunduk dan hati yang lebih bersih.
Arafah: Tempat Air Mata Paling Jujur
Di Arafah, manusia kembali ke titik nolnya. Tidak ada kastanya. Semua sama: berbaju ihram putih, tanpa nama, tanpa jabatan. Hanya ada air mata dan pengakuan.
Siapa pun yang berdoa di Arafah, akan merasakan bahwa ini bukan hanya tempat meminta, tapi tempat mengakui, bahwa selama ini kita terlalu sibuk menjadi manusia dunia, dan lupa bagaimana menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.
Muzdalifah: Sunyi yang Menempa Hati
Di Muzdalifah, langit menjadi atap, kerikil menjadi bekal. Di tempat ini, manusia diajak tidur di alam terbuka, tanpa kasur empuk, tanpa AC hotel. Semua harus merasakan kerasnya bumi dan dinginnya malam. Tapi di sinilah kesadaran dilatih.
Jamaah mengumpulkan batu kecil, batu yang nanti akan digunakan untuk melawan simbol-simbol setan di Mina.
Simbolnya sederhana, maknanya dalam. Kadang yang kita butuhkan untuk melawan nafsu bukan senjata besar, tapi kesadaran kecil dan konsistensi. Seperti kerikil itu.
Mina: Di Sini Ego Dilempar
Baca juga: Voice Note di Medsos Tentang Disetujuinya 3000 Visa Haji Furoda, Hoaks atau Nyata?
Mina adalah tentang keberanian. Melontar jumrah bukan sekadar ritual melempar batu. Tetapi bermakna pernyataan bahwa kita tidak tunduk pada bujukan setan, pada bisikan ego, pada nafsu yang terus menggoda.
Di Mina pula kita diajarkan makna kurban. Kita belajar dari Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan anak tercintanya karena Allah. Dan dari Nabi Ismail AS yang patuh tanpa protes.
Armuzna: Medan Pelatihan Jiwa
Tiga titik itu (Arafah, Muzdalifah, Mina) seakan membentuk sebuah road map spiritual. Awalnya kita disadarkan di Arafah. Lalu kita dilatih bersabar dan berserah di Muzdalifah. Dan akhirnya kita diuji pengorbanan di Mina.
Armuzna adalah titik balik. Jika haji adalah perjalanan ke luar diri, maka Armuzna adalah perjalanan masuk ke dalam. Titik ini bukan hanya menguji fisik, tapi justru menguliti batin: seberapa serius kita dalam menanggalkan keakuan, dan seberapa jauh kita siap menyerahkan diri kepada Allah.
Di tengah dunia yang semakin bising, Armuzna mengajak kita kembali sunyi. Di tengah dunia yang semakin sibuk menumpuk ego, Armuzna justru memerintahkan kita melempar ego itu ke lembah Jumrah.
Baca juga: Ketika Panggilan Itu Belum Sampai, Catatan dari Haji Furoda 2025
Pulang dengan Jiwa yang Baru
Setelah semua usai, jamaah pulang ke tanah air. Tapi seharusnya bukan hanya tubuh yang kembali. Jiwa juga harus Kembali, dengan kondisi yang baru. Lebih bersih. Lebih patuh.
Karena itu, Armuzna bukan hanya tempat. Ia adalah pelajaran. Ia adalah pengingat. Ia adalah panggilan agar manusia berhenti sebentar, lalu tunduk. Bukan kepada dunia. Tapi kepada Tuhan.
Dan mungkin, kita semua (haji atau belum haji) perlu punya ‘Armuzna’ kita sendiri. Tempat dan waktu di mana kita benar-benar belajar menjadi hamba.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur & Ketua Litbang DPP Amphuri
Editor : Alim Perdana