Meme dan Negara yang “Serius”

ayojatim.com
Salah satu meme yang menyindir DPR RI. Foto/Warganet

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

MEME itu lucu. Kadang menyentil. Kadang nakal. Tapi jarang ada yang menganggapnya sebagai ancaman negara. Sampai tiba-tiba, seorang mahasiswi ITB dipanggil polisi. Ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: Tiga Jalan "Cara" Haji yang Harus Kita Pahami

Gara-gara unggah meme Prabowo dan Jokowi. Ia dijerat pasal penghinaan terhadap penguasa. Ancaman hukumannya? 12 tahun. Rasanya seperti sedang mimpi. Tapi mimpi yang terlalu serius.

Anak muda sekarang tidak menulis pamflet. Tidak lagi menyuarakan kritik lewat poster demo di jalan. Mereka lahir di dunia yang tak punya tembok, hanya layar. Dan meme adalah poster baru mereka.

Itulah bahasa Gen Z. Satire digital. Kadang canggung. Kadang tidak lucu. Kadang kelewat batas. Tapi itulah caranya mereka bicara.

Bukan untuk membakar negara. Tapi untuk bilang, “Kami ada. Kami berpikir. Kami ingin didengar.”
Kita bisa berbeda pandangan soal selera humor. Tapi satu hal ini seharusnya tidak kita perdebatkan, yaitu soal: hak untuk mengungkapkan pendapat di ruang publik adalah fondasi demokrasi.

Apalagi jika yang disindir adalah pejabat publik. Presiden, menteri, atau bahkan calon presiden sekalipun, mereka adalah tokoh terbuka. Kritik (meski kadang pahit) adalah bagian dari ongkos jabatan.

Kita tentu tidak ingin negara menjadi terlalu baper. Apalagi mudah tersinggung oleh meme. Tentu dan pasti, tidak semua ekspresi bisa dibenarkan. Kita perlu mengingatkan generasi muda juga: bahwa medsos bukan ruang bebas nilai. Ada tanggung jawab, ada etika.

Tapi pendekatan terhadap kasus-kasus seperti ini semestinya bukan langsung pidana. Apalagi untuk seorang mahasiswa. Ada banyak jalan restoratif. Bisa dimediasi, diberi pemahaman, bukan diberi vonis.

Kasus ini mengingatkan kita pada masa-masa gelap Undang-Undang ITE yang sering disebut "pasal karet". Sudah banyak korban. Sudah banyak janji revisi. Tapi tetap saja, diulang lagi. Dan kali ini sasarannya: anak kampus.

Baca juga: Badal Haji, Jalan Menuju Haji Mabrur bagi yang Tak Lagi Mampu

Negara yang sehat tidak takut pada kritik. Justru negara yang besar adalah yang bisa menampung suara-suara kecil, termasuk yang datang dalam bentuk meme.

Di Amerika, acara TV seperti Saturday Night Live rutin menyindir presidennya sendiri, tanpa harus dipenjara. Di Prancis, majalah Charlie Hebdo bahkan menjadikan satire sebagai budaya jurnalistik.

Kita memang bukan Amerika. Juga bukan Prancis. Tapi jika ingin jadi negara demokratis, kita bisa belajar.
Saya percaya, negara ini tidak kekurangan akal sehat. Kita punya aparat yang bijak. Kita punya pemerintah yang (semoga) bisa tersenyum meski dikritik.

Dan kita punya generasi muda yang sedang belajar bicara. Kadang suaranya sumbang. Tapi itu lebih baik daripada diam. Biarkan mereka tumbuh. Jangan patahkan mereka hanya karena satu unggahan.

Karena pada akhirnya, negara yang kuat tidak ditentukan oleh seberapa banyak meme yang dihapus. Tapi oleh seberapa besar hatinya menampung perbedaan.

Yang juga perlu dipertimbangkan adalah memaafkan dengan memberi pelajaran. Menjadi pemimpin yang pemaaf bukan berarti lemah. Justru di sanalah letak kemuliaan sejati.

Baca juga: Haji dan Kesadaran Kolektif Umat Islam

Memaafkan kritik, memberi ruang klarifikasi, bahkan menahan diri untuk tidak membalas, itu bukan kelemahan. Itu keagungan.

Pemimpin yang pemaaf tidak hanya mulia di mata rakyatnya. Tapi juga akan mulia di mata Tuhan, dan dikenang indah oleh sejarah.

Karena kekuasaan itu sementara. Meme akan berlalu. Tapi cara kita merespons akan tinggal lama dalam ingatan bangsa.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru