KPK resmi menahan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, pada Kamis (20/2/2025). Ketua Umum PDIP Megawati memenuhi janjinya: membela. Tanggal itu pula keluar instruksi harian Ketua Umum.
Kepala Daerah asal PDIP harus menunda keikutsertaan retraet (21-28/02/2025) di Magelang. Tidak mengikuti agenda pemerintah pusat. Instruksi itu menekankan dua narasi. Kader PDIP satu komando (stand by comannader call). Sekjen Hasto dikriminalisasi.
Baca juga: Ketika Keadilan dan Integritas Menjadi Perdebatan
Itulah Ti Ji Ti Beh, versi PDIP. Kelaziman partai, ketika kadernya terjerat hukum, dibela dengan memberikan bantuan hukum. PDIP menempuh cara berbeda.
Menolak kinerja aparat hukum. Menudingnya sebagai kriminalisasi. Tidak mau mengakui bersalah. Menjadikan kepala daerah yang menjadi kadernya sebagai alat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Bisa diduga, para kepala daerah dijadikan alat bargaining politik pada pemerintah pusat. Agar ikut menekan KPK meringankan Hasto. Proses penegakan hukum dilawan melalui hegemoni politik.
Ti Ji Ti Beh versi PDIP bersifat tribalistik. Kesukuan. Tunduk pada kesetiaan kelompok. Bukan pada kebenaran universal. Mirip suku tertentu tercederai atau dicederai. Seluruh suku melakukan perlawanan.
Tanpa memperhatikan anggota sukunya bersalah atau tidak. Maka terciptalah loyalitas tanpa batas pada kelompok itu. Semua anggotanya berada dalam lindungan pembelaan. Benar atau salah menjadi bersifat sekunder.
Ti Ji Ti Beh sebenarnya merupakan konsep mulia. Konsep kesetiaan pada bangsa dan negara. Diinisiasi Pangeran Sambernyawa. Pemimpin perlawanan penjajah Belanda, pendiri Kraton Mangkunegaran Solo.
Artinya “mati siji mati kabeh” (satu menderita semua merasakan menderita). Bisa juga “mukti siji mukti kabeh”. Artinya berjaya satu berjaya semua.
Konsep kesetiaan itu digunakan Pangeran Sambernyawa sebagai semboyan perlawanan rakyat terhadap kolonialis Belanda. Bukan konsep kesetiaan untuk merongrong kewibawaan bangsa dan negara.
Berbeda dengan PDIP, Presiden Prabowo menerapkannya dalam skema “putus ekor cicak”. Ketika kader atau timnya melakukan pelanggaran hukum, ia relakan diganti. Tanpa pembelaan berlebihan. Seperti kasus Edy Prabowo, menteri KKP pada Kabinet Presiden Jokowi yang kedua.
Kesetiaan hanyalah pada bangsa dan negara. Ketika mencederai kesetiaan itu, maka akan dilepas. Pencideraan itu bisa berupa pelanggaran hukum atau memicu keresahan publik.
Baca juga: Danantara Sebuah Langkah Besar untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia
Risikonya ia dianggap tidak “solider”. Tidak mau membela teman-temannya. Tidak melindungi para pejuang-pejuangnya.
Tercermin pada kasus Gus Miftah, gas melon, pagar laut dan Menristekdikti. Pendekatan “putus ekor cicak” bisa mengerosi loyalisnya. Orang-orang enggan mati-matian berjuang untuknya, karena tidak ada jaminan pembelaan ketika terperosok.
Walau Presiden Prabowo juga dikenal suka merawat para desertir. Vonis kesalahan hukum diterima. Tapi secara humanistis teta dibela.
Konsep kesetiaan Presiden Prabowo mirip konsep kesetiaan klub sepakbola. Hanya memainkan pemain yang betul-betul siap tempur. Tidak masalah mengganti pemain di tengah pertandingan. Jika cedera atau bermain buruk.
Mungkin terbawa konsep kesetiaan Kopassus. Lebih baik pulang nama dari pada kalah. Tidak perlu cengeng ketika menghadapi pertempuran sulit. Bahkan ketika harus mati. Tidak usah meronta-ronta pada pimpinan. Kalau salah/melanggar hukum ya harus rela diganti.
Di luar sana, dikenal juga konsep kesetiaan mafia. Omerta. Berupa kewajiban untuk diam dan tidak bekerja sama dengan pihak berwenang. Kesetiaan mutlak pada keluarga atau organisasi mafia. Larangan untuk mengkhinati anggota lain.
Baca juga: Indonesia Gelap! Koruptor, Mafia dan Kroni
Organisasi mafia memiliki hirarki ketat. Kesetiaan mengalir ke atas (bawahan ke atasan). Loyalitas didasarkan pada rasa hormat, ketakutan atau kombinasi keduanya. Anggota harus mengikuti perintah tanpa banyak bertanya. Pengkhianatan terhadap loyalitas itu merupakan pelanggara terburuk.
Pada konsep mafia ini dikenal istilah “tali rafia tali sepatu”. Sesama mafia tidak boleh saling mengganggu. Sesama mafia harus saling membantu.
Konsekuensi konsep kesetiaan tribalistik atau mafia adalah keruntuhan total. Satu-satunya cara menghentikan adalah dengan melawan semuanya. Berbeda dengan kesetiaan pada nilai-nilai universal. Yang bersalah diganti, yang tidak bersalah bisa tetap melanjutkan perjuangan.
Layak untuk untuk dinanti. Kesetiaan khas PDIP atau kesetiaan model Persiden Prabowo yang akan bertahan di Indonesia. Semua tergantung dan kembali pada putusan rakyat.
Catatan Harian: Abdul Rohman Sukardi, Jumat, 21 Februari 2025
Editor : Alim Perdana