BERITA yang menarik perhatian saya di bulan Februari, menjelang Silakwil ICMI di Kampus UB 15 Februari 2025, adalah berita dengan judul “Eks Gubernur BI: 36 Persen Kekayaan Indonesia Hanya Dikuasai oleh Satu Persen Rakyat”.
Menurut Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia itu, 36 persen kekayaan Indonesia saat ini hanya dikuasai oleh satu persen dari total populasi (Tempo.co, 2025).
Baca juga: AI dalam Dunia Medis, Kolaborasi atau Kompetisi?
Burhanuddin berbicara dengan nada yang serius saat mengungkapkan hal ini dalam acara Sarasehan Ulama NU di Jakarta pada 4 Februari lalu. Ia berkata, “Betapa terbelahnya kita. Dari dulu sampai sekarang belum berubah.”
Yang menarik adalah bagaimana dia menggambarkan ketimpangan ini. “Di satu sisi, ada kelompok yang hidup dalam kemiskinan, tak terjangkau pendidikan, dan berjuang di kehidupan yang penuh keterbatasan.
Di sisi lain, hanya satu persen yang menguasai hampir seluruh kekayaan, yaitu orang-orang yang berorientasi pada pasar internasional, dan memiliki akses pendidikan serta pengetahuan yang luar biasa.” Inilah gambaran nyata yang terjadi. Dua dunia yang terpisah begitu jauh.
Kesenjangan yang Tak Kunjung Selesai
Apa yang dikatakan Burhanuddin ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Jika kita mundur ke era Soeharto, laporan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan saat itu, Soemitro Djojohadikoesoemo, sudah menunjukkan hal serupa.
Pada tahun 1990-an, hanya setengah persen dari rakyat Indonesia yang menguasai seluruh kekayaan negara (Tempo.co, 2025). Kini, angka itu meningkat menjadi satu persen yang menguasai 36 persen kekayaan Indonesia. Kita terus terjebak dalam ketimpangan yang tidak berubah.
Angka-angka ini sangat mengganggu. Data terbaru dari Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa Gini Ratio Indonesia (sebuah indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan) tetap tinggi, yakni 0,381 (World Bank, 2023).
Ketimpangan yang terus bertahan ini tentu mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi kita. Kita menjadi terbelah, bukan hanya dalam hal akses terhadap kekayaan, tapi juga akses terhadap peluang dan masa depan yang lebih baik.
Deindustrialisasi: Penurunan yang Tak Terelakkan
Ketimpangan ini bukan satu-satunya masalah yang harus dihadapi Indonesia. Burhanuddin juga menyoroti fenomena deindustrialisasi yang tengah melanda Indonesia. Dulu, di era 1996, kontribusi sektor industri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sempat mencapai 29 persen.
Namun kini, kontribusinya hanya menyentuh angka 18 persen pada tahun 2025 (Tempo.co, 2025). Sektor industri, yang dulu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, kini semakin merosot. Kita harus bertanya, apa yang membuat industri Indonesia semakin terpuruk?
Deindustrialisasi ini tidak hanya mengindikasikan penurunan kontribusi terhadap ekonomi, tetapi juga mengungkap ketergantungan Indonesia yang berlebihan terhadap sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan. Kita semakin jauh dari cita-cita untuk menjadi negara industri.
Jika kita terus-terusan mengandalkan sektor yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, kita akan terjebak dalam kondisi yang tidak berkelanjutan.
Solusi: Menumbuhkan Kualitas SDM
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ketimpangan ini? Burhanuddin memberikan jawaban yang sederhana namun mendalam. Ia mengusulkan program makan bergizi gratis yang kini sedang digalakan untuk anak-anak dari ibu hamil, supaya juga diberikan hingga siswa SMA.
Program ini bukan hanya soal memberi makan, tapi lebih jauh dari itu, yaitu investasi untuk masa depan. "Supaya di tahun 2045 nanti, generasi kita sehat, kuat, dan mampu bersaing," ujar Burhanuddin (Tempo.co, 2025).
Baca juga: Menghapus Wisuda Lulusan SMA dan SMK, Menyederhanakan Kebahagiaan
Tentu saja, solusi ini tidak cukup dengan hanya memberi makan. Kita harus fokus pada peningkatan pendidikan yang lebih merata. Pendidikan adalah kunci utama untuk mengatasi ketimpangan. Banyak negara maju bisa mencapai kemajuan karena mereka mengutamakan pendidikan.
Hanushek dan Woessmann (2020) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas pendidikan yang tinggi berhubungan langsung dengan produktivitas ekonomi. Jika Indonesia serius ingin mengurangi ketimpangan, maka pendidikan yang berkualitas, terutama di daerah-daerah tertinggal, harus menjadi prioritas utama.
Peran Pemerintah Perbaiki Kebijakan, Peran ICMI Optimalkan Pengelolaan ZIS
Sudah pasti, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Pemerintah harus memperkuat kebijakan yang lebih inklusif, memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi.
Begitu juga dengan sektor industri.
Jika kita ingin tetap relevan di pasar global, kita harus mengembangkan industri berbasis teknologi. Dalam hal ini, investasi pada riset dan inovasi harus dipercepat, agar kita bisa keluar dari jebakan ketergantungan pada sektor primer yang tidak produktif.
Dalam konteks ini, pendekatan Islam juga mengajarkan kita tentang keadilan sosial. Zakat, infak, dan sedekah adalah instrumen yang dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Dalam Al-Qur'an (Al-Baqarah: 267-273), disebutkan bahwa kekayaan seharusnya tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga dibagikan untuk kepentingan umat.
QS. Al-Baqarah: 267 menyatakan "Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu, dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji."
Berikutnya, ayat 268: "Setan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan kepadamu ampunan dan rahmat dari-Nya, dan karunia-Nya adalah lebih besar dari apa yang mereka kumpulkan."
Kemudian ayat 269: "Barangsiapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik, dan barangsiapa yang kikir, maka hanya dirinya sendiri yang merugi." Lalu ayat 270: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh butir yang di setiap butirnya ada seratus biji."
Baca juga: Menghapus Wisuda Lulusan SMA dan SMK, Menyederhanakan Kebahagiaan
Sekarang mari kita lihat ayat 271: "Sesungguhnya orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan ikhlas, dan sesudah itu tidak diikuti dengan perbuatan yang merusak, mereka itu mendapat pahala yang besar."
Lanjut ke ayat 272: "Dan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan di jalan Allah, Allah akan memberi mereka ampunan dan rahmat-Nya." Lanjut ke ayat 273: "Dan orang-orang yang berinfak dengan ikhlas itu adalah orang-orang yang berharap kepada Allah dan akan diberi pahala yang lebih besar."
Ayat-ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan harta kepada yang membutuhkan, serta mengingatkan kita bahwa Allah akan membalas dengan lebih baik.
Dalam konteks ketimpangan sosial, ayat-ayat tersebut mengajak kita untuk berbagi, mengurangi kesenjangan, dan menyadari bahwa harta yang kita miliki juga ada hak orang lain di dalamnya.
Jadi disamping Solusi dari negara, dari program pemerintah, kita umat Muslim juga terpanggil untuk berkontribusi secara aktif konstruktif mengatasi masalah ketimpangan yang terjadi.
Di sinilah antara lain ICMI diundang untuk menjalankan peran nyata. Di forum silakwil yang akan digelar pada tanggal 15 Februari 2025, di Kampus Universitas Brawijaya, tempat kelahiran ICMI, issue ini perlu kiranya diangkat menjadi salah satu habasan utama untuk diputuskan menjadi program utama.
Artikel ini sengaja dipublish untuk menghangatkan percakapan yang positif dan konstruktif yang dapat diangkat dalam forum Silakwil. Monggo dipersilahkan.
Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana