DALAM diskursus moralitas dan sosial-ekonomi, perdebatan tentang infak sering kali dipersempit pada aspek hukum atau ekonomi.
Padahal, jika dilihat lebih dalam, infak (seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 215 dan 219) adalah perintah yang jauh lebih mendalam, terkait dengan konsep kemanusiaan dan hubungan individu dengan masyarakat.
Baca juga: Arafah dan Makna Maaf yang Menyeluruh: Haji yang Menyembuhkan Jiwa
Ini bukan sekadar perintah sosial; ini adalah panggilan spiritual untuk menata kembali hati dan nilai-nilai kemanusiaan yang semakin terpinggirkan dalam arus kehidupan modern.
Apa yang Harus Kita Nafkahkan?
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 215, Allah SWT memberi penjelasan mendalam mengenai perintah infak: "Mereka bertanya kepadamu, ‘Apa yang mereka nafkahkan?’ Katakanlah, ‘Apa saja yang kamu nafkahkan, hendaklah untuk orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebajikan yang kamu lakukan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 215)
Ayat ini turun sebagai respons terhadap kebingungan para sahabat yang bertanya tentang apa yang sebaiknya mereka infakkan. Mengingat kondisi sosial masyarakat Madinah yang waktu itu penuh dengan ketimpangan sosial, para sahabat ingin memahami lebih jauh mengenai objek dan cara berinfak yang tepat.
Jawaban yang diberikan bukanlah jawaban biasa, apalagi jawaban yang bersifat teknis atau ekonomis.
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menyalurkan sebagian dari harta mereka kepada mereka yang membutuhkan: orang tua, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, dan musafir. Ini adalah sebuah definisi tentang siapa yang berhak menerima. Tetapi lebih dari itu, ayat ini menunjukkan suatu kewajiban moral untuk menjaga solidaritas sosial yang lebih luas.
Namun, yang perlu kita pertanyakan di sini adalah, bagaimana konteks ini relevan dengan dunia kita saat ini? Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi dan terfragmentasi (di mana ketimpangan sosial semakin jelas), pertanyaan yang kita hadapi bukan hanya "Siapa yang berhak menerima?" tetapi juga "Mengapa kita harus memberi?" Dan jawabannya adalah bahwa memberi bukan hanya tentang memberi kepada mereka yang membutuhkan, tetapi memberi untuk meneguhkan kembali prinsip-prinsip kemanusiaan yang hilang dalam pragmatisme sosial.
Lebih dari Sekadar Kewajiban: Infak yang Ikhlas
Sebagai lanjutan dari pertanyaan tersebut, Surah Al-Baqarah ayat 219 menawarkan pandangan yang lebih mendalam tentang hakikat infak: "Mereka bertanya kepadamu, ‘Apa yang mereka nafkahkan?’ Katakanlah, ‘Yang lebih dari kebutuhanmu.’ Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini memberi penegasan bahwa infak yang dimaksud bukan hanya sekadar kewajiban yang memenuhi angka tertentu, tetapi lebih dari itu. "Yang lebih dari kebutuhanmu." Ini adalah perintah yang menantang, bukan hanya terhadap pemahaman kita tentang harta, tetapi juga terhadap pemahaman kita tentang diri kita sendiri.
Kata "al-‘afwa" yang diterjemahkan sebagai "lebih dari kebutuhan" mengandung makna yang sangat dalam. Ini bukan soal jumlah atau takaran, melainkan tentang memberi dengan penuh keikhlasan, memberi tanpa merasa terbebani.
Dalam konteks ini, infak lebih dari sekadar tindakan finansial; ia merupakan latihan untuk melepaskan diri dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta. Dalam dunia kapitalis yang serba materialistis ini, memberi lebih dari yang kita butuhkan adalah sebuah perlawanan terhadap sistem yang mengajarkan kita untuk selalu menambah kekayaan tanpa batas.
Tafsir Para Ulama: Antara Ekonomi dan Spiritual
Baca juga: Makna Ihram dan Falsafah Kesetaraan, Haji Menghapus Sekat Duniawi
Para mufassir, seperti Ibn Kathir, Al-Qurtubi, dan Al-Razi, memberikan tafsir yang lebih luas mengenai ayat ini. Ibn Kathir menjelaskan bahwa perintah untuk memberi lebih dari kebutuhan adalah bentuk latihan spiritual untuk menjernihkan hati, agar kita tidak terikat dengan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia.
Al-Qurtubi menambahkan bahwa memberi lebih adalah tindakan sosial yang menunjukkan kualitas karakter seorang Muslim. Ini bukan hanya soal memberi dari sisa, tetapi tentang memberi dengan rasa syukur dan tanpa pamrih.
Al-Razi, dengan penafsiran lebih filosofis, melihat pemberian yang lebih sebagai sebuah bentuk kesadaran akan keterbatasan duniawi dan ketergantungan kita pada rahmat Ilahi. Ia menegaskan bahwa infak bukan hanya soal ekonomi atau kewajiban, tetapi juga soal pencapaian spiritual yang mengajarkan kita untuk meneguhkan kembali kemanusiaan kita yang semakin tergerus oleh modernitas.
Penting untuk mencatat bahwa para mufassir ini tidak hanya melihat infak dari sudut pandang hukum atau ekonomi, tetapi juga dari perspektif kemanusiaan dan spiritualitas. Mereka mengingatkan kita bahwa memberi lebih dari yang kita butuhkan adalah sebuah proses internalisasi nilai-nilai sosial yang mendalam, yang pada akhirnya membawa kita pada pembebasan diri dari kecintaan yang berlebihan terhadap materi.
Infak dalam Konteks Sosial Kontemporer
Di era globalisasi ini, kita hidup dalam masyarakat yang serba cepat dan materialistis. Ketimpangan sosial yang terus berkembang, ditambah dengan dominasi nilai-nilai kapitalisme yang semakin mendalam, membuat kita terperangkap dalam siklus keinginan yang tak pernah ada habisnya.
Dalam dunia yang semakin tidak adil ini, memberi lebih dari yang kita butuhkan bukan lagi sekadar tindakan sosial, tetapi sebuah kritik terhadap sistem yang terus mengejar kekayaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Baca juga: Pendidikan Kita Masih Mencetak Pekerja, Bukan Pemilik Masa Depan
Islam, melalui kedua ayat ini, mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang makna memberi. Memberi lebih dari yang kita butuhkan adalah bentuk pembebasan diri dari ikatan materi, dan juga penguatan kembali solidaritas sosial.
Dalam konteks global yang penuh ketimpangan ini, infak adalah alat untuk memperbaiki struktur sosial yang timpang, sekaligus alat untuk menjaga kemanusiaan kita tetap utuh.
Namun, apakah kita, sebagai individu yang hidup dalam masyarakat modern, dapat benar-benar mengimplementasikan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari? Di tengah segala kebisingan dunia ini, apakah kita masih mampu memberi lebih—bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk perhatian, waktu, dan energi untuk kepentingan orang lain?
Kesimpulan: Infak sebagai Panggilan Spiritual
Infak, dalam kerangka Surah Al-Baqarah ayat 215 dan 219, adalah sebuah perintah yang mengajak kita untuk lebih dari sekadar memberi. Memberi lebih adalah tindakan moral yang menunjukkan kedalaman rasa kemanusiaan kita, dan sekaligus pengakuan kita terhadap keterbatasan duniawi. Ini adalah panggilan spiritual untuk melawan egoisme yang terus berkembang dalam masyarakat.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, infak yang ikhlas adalah kunci untuk memperbaiki hubungan antarindividu dan menjaga nilai-nilai sosial yang luhur. Dalam setiap langkah memberi, kita tidak hanya menyalurkan harta, tetapi juga meneguhkan kembali makna hidup yang lebih dalam, hidup yang lebih berharga karena berbagi dengan sesama.
Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Editor : Alim Perdana