Viral Kasus Nenek Elina, Senator Lia Istifhama Ingatkan Bahaya Mafia Tanah

Reporter : Diday Rosadi
Ning Lia ingatkan masih maraknya praktek mafia tanah. foto: dok/B59.

SURABAYA — Kasus yang menimpa Nenek Elina, lansia yang viral setelah diusir dari rumah yang telah puluhan tahun ditempatinya, kembali membuka mata publik tentang masih suburnya praktik mafia tanah di Indonesia.

Menyikapi fenomena ini, Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak pada konflik horizontal dan fokus mengawal aktor utama kejahatan.

Menurut Lia Istifhama, ada pola berulang yang selalu muncul dalam kasus-kasus perampasan hak atas tanah, termasuk yang dialami Nenek Elina.

“Yang perlu kita garis bawahi adalah siapa dalang atau otak dari kejahatan ini. Ada pengusiran, lalu ada pihak yang mengaku telah membeli rumah. Pertanyaannya, mengapa pemilik rumah tidak merasa menjual, tapi ada yang merasa membeli? Di sinilah praktik mafia tanah bekerja,” tegas Ning Lia sapaan akrabnya, Senin (29/12/2025).

Senator Jatim yang didapuk sebagai Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai Masyarakat versi ARCI itu menilai, kondisi tersebut bukan kasus tunggal.

“Ada banyak ‘Nenek Elina’ lain di luar sana. Ini persoalan sistemik yang harus menjadi atensi bersama,” ujar Ning Lia. 
Perempuan yang juga putri KH Maskur Hasyim itu juga mengingatkan publik agar tidak mudah terpancing emosi dan konflik antarwarga.

Menurutnya, mafia tanah kerap memanfaatkan situasi dengan menempatkan korban dan pihak tertentu saling berhadapan, sementara aktor intelektual justru bersembunyi di balik dokumen dan proses hukum.

“Jangan sampai masyarakat diadu domba. Fokus kita harus pada pelaku utama: siapa yang menyuruh pengusiran, siapa yang mengaku membeli, dan apakah pembelian itu dilakukan secara sah, jujur, dan sesuai hukum,” tegas alumnus Doktoral UINSA Surabaya tersebut. 

Komentar Ning Lia itu juga berdasarkan kasus yang dialaminya. Keluarga besarnya pernah  terjerat kasus jual beli tanah dan bangunan, padahal yang terjadi hanyalah pinjam-meminjam uang dengan jaminan sertifikat.

Fakta hukum ini telah ditegaskan oleh Pengadilan Negeri Surabaya, dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya, hingga diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 3943 K/Pdt/2023.

Dalam catatan perkara tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) dan Kuasa Menjual yang dipersoalkan bukan bukti jual beli, melainkan bagian dari konstruksi hutang-piutang dengan jaminan.

Dalil penggugat bahkan dinilai kabur dan tidak koheren.
Dalam perkara SHM 1989, tergugat juga mengaku tidak pernah menerima uang, tidak ada serah terima kunci, tidak ada penguasaan fisik obyek, dan rumah tetap ditempati sebagai satu-satunya tempat tinggal keluarga.

Pola ini dinilai memiliki kemiripan dengan kasus Nenek Elina, di mana pemilik sah justru berada pada posisi paling rentan.

“Kalau benar jual beli, mengapa rumah tidak ditempati pembeli? Mengapa pemilik sah masih tinggal dan kemudian justru diusir?” tegas Ning Lia, melihat beberapa kasus sebelumnya yang pernah dialaminya. 

Belajar dari kasus itu, Senator Cantik itu mendorong aparat penegak hukum untuk lebih serius menindak mafia tanah dari hulunya, termasuk oknum perantara, penyalahgunaan akta, hingga rekayasa transaksi.

Ia juga meminta negara hadir melindungi warga rentan, khususnya lansia dan masyarakat kecil yang kerap menjadi korban.

“Ini bukan sekadar soal sengketa tanah, tapi soal keadilan sosial dan kemanusiaan. Jangan biarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya.

Editor : Diday Rosadi

Wisata dan Kuliner
Berita Populer
Berita Terbaru