Kajian Akhir Tahun Icmi Jatim (Seri-14)

Jatim Tidak Kekurangan Uang, Tapi Kekurangan Keberanian Membagi

Reporter : Ulul Albab
BPS mencatat bahwa ketimpangan pengeluaran Jawa Timur (Gini Ratio 0,369 pada Maret 2025) memang sedikit lebih baik dari nasional. Foto/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

JAWA TIMUR bukan provinsi miskin. APBD-nya besar. Pertumbuhannya stabil. Kontribusinya terhadap PDB nasional selalu tiga besar. Tapi peta Jawa Timur masih bercerita lain.

Baca juga: Refelksi Akhir Tahun: Menutup Tahun dengan Kejernihan Hukum

Ada wilayah yang melaju cepat (Pantura industri, kawasan metropolitan Surabaya Raya). Ada pula wilayah yang berjalan pelan (Madura, Tapal Kuda, sebagian Mataraman). Bukan karena malas. Bukan karena tak diberi anggaran. Tapi karena pembangunan belum sepenuhnya berani keluar dari zona nyaman geografisnya.

Ini bukan tuduhan. Ini pembacaan data. Berbagai riset akademik dan data resmi menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan di Jawa Timur bersifat spasial, bukan semata fiskal. Artinya, uang boleh relatif tersebar, tetapi hasil pembangunan masih terkonsentrasi.

BPS mencatat bahwa ketimpangan pengeluaran Jawa Timur (Gini Ratio 0,369 pada Maret 2025) memang sedikit lebih baik dari nasional. Namun angka provinsi ini menyamarkan fakta penting: disparitas antar wilayah masih tajam. Indeks rata-rata tidak pernah benar-benar adil pada wilayah pinggiran.

Riset perencanaan wilayah (IPB, AREAI, dan jurnal ekonomi regional) menunjukkan pola yang konsisten: bahwa wilayah Pantura dan Surabaya Raya unggul dalam PDRB per kapita, IPM, dan akses layanan, sementara Madura dan Tapal Kuda tertinggal secara struktural—bukan temporer.

Untuk memperjelas, mari kita lihat indikator pembanding antar kawasan utama di Jawa Timur.


Tabel ini tidak berkata bahwa Pemprov Jawa Timur abai. Justru sebaliknya: bahwa ini menunjukkan tantangan tahap lanjut pembangunan. 

Baca juga: Kajian Akhir Tahun ICMI Jatim, dari Sertifikat ke Pasar Global: PR Ekonomi Halal Jawa Timur 2026

Ketika wilayah maju bergerak cepat karena memiliki SDM, infrastruktur, dan jejaring pasar, wilayah tertinggal membutuhkan perlakuan kebijakan yang berbeda, bukan sekadar pembagian anggaran yang sama.

Masalahnya bukan pada berapa besar APBD, tetapi seberapa berani APBD diarahkan secara afirmatif.
Pemerataan bukan berarti semua daerah diberi porsi identik. Pemerataan berarti wilayah yang tertinggal diberi daya ungkit lebih besar—dalam bentuk:

• intervensi tematik lintas OPD,
• insentif khusus layanan publik,
• dan pendampingan kelembagaan yang konsisten.

Di sinilah politik pembangunan diuji. Bukan politik elektoral. Tapi politik keberanian membaca peta.

Baca juga: Indosat Jamin Koneksi Lancar di Jawa Timur saat Nataru

ICMI Jawa Timur memandang, fase pembangunan 2026 ke depan menuntut pergeseran: dari pemerataan administratif menuju keadilan spasial berbasis data. Jika tidak, Jawa Timur akan terus tumbuh— tetapi sebagian wilayahnya hanya akan menjadi penonton setia dari pinggir peta. Dan pembangunan, yang seharusnya menyatukan, justru diam-diam memperlebar jarak.

Ini bukan kritik bernada marah. Ini ajakan membaca peta sambil membuka mata. Karena provinsi sebesar Jawa Timur tidak kekurangan uang— yang dibutuhkan adalah keberanian membagi dengan cara yang lebih adil dan cerdas.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Berita Populer
Berita Terbaru