Ada Apa di Sepertiga Malam

ayojatim.com
Foto: Ilustrasi/Ciphoc Unitomo

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DALAM riuh kesibukan dunia modern kita sering lupa, bahkan cenderung mengabaikan, bahwa dalam 24 jam sehari ada satu ruang (waktu) sunyi yang dihadiahkan Allah untuk kita. Ruang itu bernama sepertiga malam terakhir. Waktu yang Allah muliakan, bahkan sebelum manusia memahami maknanya.

Baca juga: Masih Relevankah JR Pasca Terbitnya Kepmen?

“Wa min al-layli fatahajjad bihi nfilatan laka, ‘as an yab‘atsaka rabbuka maqman mamdan. (Dan pada sebagian malam, bertahajjudlah engkau sebagai ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke maqm yang terpuji.”) (Surah Al-Isr’, 17:79).

Begitu ayatnya yang mungkin sering kita baca. Indah sekali. Setiap kita berkesempatan membacanya dalam bacaan sholat, insyaalloh serasa semakin khusyu’ hati kita dalam menghadap Allah SWT. Ayat ini turun khusus untuk Rasulullah SAW.

Namun oleh banyak ulama dipahami sebagai isyarat umum dan penegasan kuat bagi umat Rasulullah tentang pentingnya kesungguhan ibadah malam (sepertiga malam terakhir).

Kata “Fatahajjad bihi” memberi pesan: bangkitlah dari zona nyaman, melampaui ritme biasa, memperdalam kualitas batin ketika dunia tertidur. Kata “nafilatan laka” bukan sekadar “tambahan,” tetapi ibadah khusus yang menguatkan jiwa, memperhalus intuisi batin, dan menajamkan visi setiap orang yang melakukanya.

Lalu Frasa “maqmam mamdan” berarti kedudukan yang sangat terpuji, dimaknai ulama sebagai: derajat kemuliaan di sisi Allah; kemampuan memikul amanah dalam kepemimpinan di level manapun (di ruang dan waktu kapanpun) dengan kebijaksanaan; otoritas moral yang diakui, bukan dimintakan.

Dalam konteks kepemimpinan publik, makna ini sangat relevan:
kemulyaan seorang pemimpin bukan karena jabatan, melainkan karena kualitas batin yang memproduksi kebijakan yang adil, jernih, dan tidak kehilangan nurani.

Di sinilah tahajud menjadi latihan kejujuran tertinggi, sebab hanya dilakukan ketika tidak ada publik, kamera, atau tepuk tangan.

Pertanyaannya sekarang adalah: Ada apa sebenarnya di 1/3 malam sehingga Allah mengundang hamba-hamba-Nya untuk bangun dan bermunajat? Mengapa malam yang mengantuk itu justru menjadi puncak rahmat?

Sebagian ulama menyebut, sepertiga malam adalah jam-jam saat langit paling dekat dengan bumi (bukan secara fisik, tetapi secara spiritual). Ia adalah waktu ketika rahmat turun bagaikan hujan deras yang tidak terhalang apa pun.

Rasulullah SAW bersabda bahwa pada waktu itu, Allah menyeru: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan; siapa yang meminta, akan Aku beri; siapa yang memohon ampun, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari-Muslim).

Sepertiga Malam adalah Saat Hijab Paling Tipis

Pada siang hari, pikiran dan hati kita pasti sibuk menilai, merespons, bahkan bereaksi terhadap dunia. Tapi saat malam tiba, terutama di 1/3 terakhir, dunia seketika diam. Para sufi menggambarkan waktu ini sebagai “sa’at al-ijabah”, yaitu waktu ketika hijab antara hamba dan Tuhannya menjadi paling tipis.

Rumi pernah menulis: “Pada malam hari, rahasia-rahasia dibisikan ke dalam hati, sebab dunia sedang tidur dan hanya hati yang terjaga.”

Ketika dunia lengang, doa menjadi lebih jernih. Ketika ego melemah, niat menjadi lebih tulus. Ketika tubuh letih, hati justru lebih peka. Tidak ada panggung di sepertiga malam. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada citra yang perlu dipertahankan. Yang tersisa hanyalah hubungan murni antara seorang hamba dan Rabb-nya.

Baca juga: Umrah Mandiri: Kerumitan UU, Ketegasan Permen, dan Relevansi Judicial Review

Bangun Malam: Latihan Kedewasaan Spiritual

Bangun di sepertiga malam bukan hanya ibadah. Tetapi juga latihan kepemimpinan jiwa. Di sinilah manusia belajar disiplin tanpa pengawasan, belajar keikhlasan tanpa penonton, dan belajar keteguhan tanpa sorakan.

Para ulama meyakini, orang yang mampu mengalahkan rasa kantuk demi mendekat kepada Allah adalah orang yang telah mengalahkan sebagian besar dirinya sendiri. Maka tidak mengherankan jika sejarah mencatat: kebangkitan spiritual para nabi, para pembaharu, dan para pemimpin umat bermula dari malam-malam panjang yang mereka hidupkan.

Tempat Keluarnya Kekuatan Jiwa

Kita sering mengeluh tentang beratnya hidup. Tentang rezeki yang belum terbuka. Tentang persoalan keluarga yang tak kunjung selesai. Tentang doa yang seakan tidak kunjung mendapat jawaban.

Padahal, banyak ulama mengingatkan:
apa yang kita kerjakan di siang hari sangat ditentukan oleh apa yang kita kerjakan di malam hari. Siang menentukan apa yang kita lakukan. Malam menentukan siapa diri kita sebenarnya.

Barangkali Allah sengaja menempatkan keajaiban di sepertiga malam untuk mengajarkan bahwa solusi terbaik tidak selalu hadir di tengah keramaian, melainkan dalam keheningan.

Rahasia yang Hanya Terasa Jika Dikerjakan

Baca juga: Relevansi ICMI bagi Generasi Z Muslim Terpelajar

Sering kali kita membaca keutamaan tahajud, mendengar ceramah, bahkan mengagumi orang-orang yang bisa melakukannya. Namun harus diakui: keajaiban sepertiga malam tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan kata. Hanya bisa dirasakan. Seperti madu, hanya bisa dipahami setelah dicicipi.

Satu rakaat saja, di waktu paling sunyi itu, mampu mengubah perspektif hidup. Satu sujud saja, bisa meluruhkan penyesalan bertahun-tahun. Satu kalimat istighfar saja, bisa menghapus dosa yang selama ini ditanggung secara diam-diam.

Para ulama berkata: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.” Sebab bangun malam bukan sekadar kemampuan. Tapi undangan.

Jadi terhadap pertanyaan “Ada apa di Sepertiga Malam?” Jawabannya adalah: Ada Allah yang menunggu hamba-Nya. Ada rahmat yang turun dengan kelembutan paling sempurna. Ada ampunan yang melimpah. Ada doa yang lebih mudah naik. Ada ketenangan yang jarang ditemukan di siang hari. Ada kekuatan baru untuk memulai hidup dengan cara yang lebih baik.

Dan yang paling penting: ada kesempatan untuk menjadi dekat kembali setelah jauh sekian lama.

 

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru