SURABAYA – Gelombang keluhan dari pengemudi ojek online (ojol) di Jawa Timur terus bergulir. Suara mereka kali ini mendapat perhatian serius dari Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, yang akrab disapa Ning Lia.
Saat menerima audiensi Komunitas Frontal Jawa Timur di Kantor DPD RI, Senin (3/9/2025), Ning Lia mendengarkan langsung curahan hati para driver tentang praktik aplikator yang dinilai semena-mena dan menekan penghasilan mereka.
Baca juga: Senator Lia Istifhama Semarakkan Lomba Masak Olahan Mie Fatayat NU
Para driver mengaku kian tercekik akibat kebijakan diskon besar-besaran dari aplikator. Program promo tersebut membuat tarif anjlok, bahkan menyalahi aturan batas bawah yang telah ditetapkan pemerintah.
“Norma standar prosedur belum jelas, sanksi dan sistem suspend juga sering memberatkan mitra driver. Banyak keberatan yang disuarakan, tapi aplikator seolah jalan sendiri tanpa kontrol,” ungkap Richo Suroso, perwakilan Komunitas Frontal Jatim.
Keluhan serupa datang dari driver roda empat dan driver barang. Untuk roda empat, tarif seharusnya Rp3.800 per kilometer, namun aplikator tidak mematuhi aturan.
Bahkan, pada sektor pengiriman barang, tarif bisa di bawah Rp50 ribu meski sudah memperhitungkan BBM, tenaga, dan waktu kerja.
“Kami sudah tiga bulan menuntut penyesuaian tarif, tapi aplikator tetap cuek. Ini membuat driver tercekik dan seolah dipermainkan,” tambah Richo.
Para pengemudi sebenarnya sudah memiliki payung hukum di tingkat daerah. Pada 10 Juli 2023, Gubernur Jawa Timur saat itu, Khofifah Indar Parawansa, menandatangani dua Keputusan Gubernur (Kepgub).
Pertama, Kepgub Nomor 188/291/KPTS/013/2023 tentang pelaksanaan pengawasan biaya jasa penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat melalui aplikasi.
Kedua, aturan teknis lanjutan yang mengatur pengawasan tarif agar aplikator tidak seenaknya memberikan promo.
Kebijakan serupa juga muncul di provinsi lain, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yang secara tegas meminta penghentian program promosi aplikator karena dianggap merugikan mitra pengemudi.
“Kami mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Timur dan provinsi lain yang melindungi driver. Tapi masalahnya provinsi atau daerah tidak punya kewenangan untuk memblokir aplikator nakal seenaknya. Pemerintah Pusat yang disini Kominfo tidak memiliki sanksi tegas pemblokiran,” tegas Richo.
Menanggapi keluhan itu, Ning Lia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk turun tangan.
Menurutnya, Dishub maupun pemerintah daerah punya keterbatasan kewenangan, sehingga peran Kominfo sangat penting dalam memberi tekanan pada aplikator nakal.
“Kalau aplikator seenaknya merugikan driver, Komdigi jangan ragu memberi sanksi bahkan memblokir sementara. Negara harus hadir melindungi rakyatnya, bukan membiarkan korporasi raksasa menekan para pekerja,” tegas Ning Lia.
Ning Lia menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal tarif, melainkan menyangkut keadilan ekonomi dan perlindungan pekerja.
Menurutnya, status mitra yang disandang driver online kerap menjadi alasan aplikator lepas tangan dari kewajiban perlindungan, padahal faktanya mereka diperlakukan seperti pekerja tetap.
“Driver online ini disebut mitra, tapi perlakuannya seperti pekerja tanpa perlindungan. Itu jelas tidak adil,” ujarnya.
Senator asal Jawa Timur itu mendorong pemerintah pusat memperkuat regulasi agar aplikator tidak semena-mena. Banyak aturan yang dinilai sudah dibuat oleh pemerintah daerah dan seharusnya diperkuat dengan dukungan pemerintah pusat dengan aturan serta sanksi tegas.
“Kalau aplikatornya masih nakal, driver tetap rugi. Kalau sudah dihentikan, ditutup, lalu dipaksa menormalkan tarif, saya rasa keadilan bisa tercapai,” tandasnya.
Putri ulama kharismatik KH Maskur Hasyim itu menegaskan, perjuangan para driver ojol adalah bagian dari upaya menciptakan efisiensi berkeadilan dalam ekosistem transportasi digital.
“Saya berharap Komdigi tidak sekadar merespons, tetapi benar-benar menghadirkan kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan aplikator, pemerintah, dan mitra driver,” pungkasnya.
Editor : Diday Rosadi