SURABAYA - Meski gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan 44 warga Pulosari melalui tim kuasa hukumnya melawan PT. Patra Jasa sebagai Tergugat tinggal menunggu putusan majelis hakim, namun warga Pulosari ini masih berharap ada keadilan atas rumah-rumah mereka yang dirobohkan sewenang-wenang.
Warga Pulosari melalui tim kuasa hukumnya juga menaruh harapan kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara gugatan PMH ini supaya mengabulkan besarnya ganti kerugian sebesar Rp. 10 miliar atas robohnya rumah-rumah mereka dalam peristiwa eksekusi yang dilaksanakan ditahun 2018 lalu.
Baca juga: Peninjauan Setempat Kasus Pulosari Vs PT Patra Jasa: Warga Dibatasi, Hakim Temukan Fakta Baru
Berdasarkan lembar kesimpulan tim kuasa hukum 44 warga Pulosari yang diberikan kepada majelis hakim pemeriksa dan pemutus perkara ini, banyak hal yang dijelaskan dan hendaknya menjadi pertimbangan majelis hakim untuk mengabulkan gugatan PMH 44 warga Pulosari ini.
Luvino Siji Samura, SH.,MH., Ananta Rangkugo, SH., Muhammad Ruwanda Shakya, SH yang tergabung dalam Uly Samura & Associates mencatat semua jalannya persidangan dan melakukan analisa yuridis, termasuk apa yang telah diucapkan para saksi dipersidangan kemudian menuangkannya dalam kesimpulan.
Selasa (3/6/2025), kesimpulan atas gugatan nomor : 678/Pdt.G/2024/ PN.Sby ini diberikan kepada majelis hakim pemeriksa dan pemutus perkara ini melalui e-court.
Dalam kesimpulan setebal 117 halaman ini, tim kuasa hukum 44 warga Pulosari sebagai pihak penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara nomor : 678/Pdt.G/2024/PN.Sby menyatakan mengakui dan menetapkan, 44 warga Pulosari sebagai penggugat adalah pihak yang memiliki penguasaan fisik riil dan sah atas objek sengketa, menyatakan bahwa tindakan eksekusi sebelumnya terhadap rumah 44 warga Pulosari adalah tidak sah dan melanggar hukum.
Masih berdasarkan isi kesimpulan yang dibuat dan disusun tim kuasa hukum 44 warga Pulosari, memohon kepada majelis hakim supaya menolak seluruh keterangan dan dalil dari pihak tergugat yang tidak sesuai dengan fakta lapangan, terutama klaim penguasaan fisik tanah.
Warga Pulosari dalam kesimpulannya juga memohon kepada majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan para penggugat untuk seluruhnya, karena terbukti secara nyata bahwa gugatan didasarkan pada fakta yang objektif dan didukung bukti otentik, tidak terdapat penguasaan sah oleh PT. Patra Jasa sebagai tergugat.
Dalam kesimpulannya, warga Pulosari juga memohon kepada majelis hakim supaya menyatakan bahwa para penggugat mengalami kerugian materil dan imateril akibat tindakan eksekusi yang dilakukan PT. Patra Jasa tanpa dasar hukum terhadap mereka.
Disinggung pula dalam kesimpulan, terdapat fakta-fakta hukum yang muncul dari Pemeriksaan Setempat (PS) yang dilaksanakan Senin (19/5/2025) seperti terdapat sisa bangunan warga yang masih eksis berupa pondasi dan puing-puing yang belum dibersihkan.
Fakta kedua yang ditemukan saat PS adalah masih berdiri bangunan ibadah yaitu Musholla An-Nur, serta jalan lingkungan dengan paving blok hasil swadaya warga.
Fakta ketiga, instalasi PLN dan PDAM masih terpasang aktif, belum dicabut ataupun dinonaktifkan instansi terkait.
Fakta selanjutnya, batas-batas tanah tidak dapat ditunjukkan PT. Patra Jasa secara jelas dan bahkan tidak ada pemagaran resmi yang sah dari PT. Patra Jasa.
Sebagian besar lahan ditumbuhi semak belukar, menunjukkan tidak ada penguasaan fisik aktif PT. Patra Jasa sejak SHGB mati tahun 2006.
Dan fakta keenam adalah akses utama warga yang dahulu digunakan telah ditutup secara sepihak, menunjukkan pemutusan paksa tanpa musyawarah.
Tim kuasa hukum 44 warga Pulosari dalam kesimpulannya juga menjelaskan, bahwa gugatan rekonvensi tergugat sepatutnya ditolak karena PT. Patra Jasa sebagai tergugat dalam Rekonvensi gagal membuktikan telah mengalami kerugian nyata yang ditimbulkan atas tindakan para penggugat dalam konvensi, yang secara hukum bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
PT. Patra Jasa sebagai Tergugat Rekonvensi tidak memiliki hak yang dapat dipertahankan atas tanah sengketa, karena SHGB No. 434 telah berakhir sejak tahun 2006 dan tidak diperpanjang, sementara tidak ada penguasaan fisik maupun tindakan administrasi yang menunjukkan pengelolaan aktif atas tanah tersebut.
Dalil bahwa 44 warga Pulosari menyerobot tanah adalah tidak berdasar karena 44 warga Pulosari ini membangun rumah secara terbuka dengan dana pribadi, mendapatkan fasilitas sosial dari negara seperti PLN, PDAM, Jalan Lingkungan, Musholla dan tidak pernah menerima teguran, pelaporan, atau proses hukum dari pihak manapun sebelum eksekusi dilakukan.
Sementara PT. Patra Jasa tidak dapat membuktikan dengan pasti letak batas-batas tanah yang diklaim sebagai miliknya saat pemeriksaan setempat. Hal itu justru menunjukkan bahwa PT. Patra Jasa tidak menguasai objek sengketa secara nyata.
Bahwa Rekonvensi ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab dan justifikasi atas tindakan eksekusi tanpa dasar hukum terhadap para penggugat, yang bahkan bukan merupakan pihak dalam Putusan nomor : 333/Pdt.G/2013/PN.Sby.
Baca juga: Drama Persidangan Sengketa Tanah Pulosari, Saksi Bingung dan Jawaban Berbelit
Oleh karena itu, Gugatan Rekonvensi harus ditolak untuk seluruhnya karena tidak didukung alat bukti yang sah dan cukup, tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPerdata, bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap pihak ketiga beritikad baik, bertentangan dengan fakta objektif di lapangan sebagaimana terlihat dalam PS, bertentangan dengan asas due process of law, asas legalitas, dan asas keadilan.
Gugatan Rekonvensi bersifat mengaburkan substansi perkara utama, dan tidak layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut majelis hakim dan harus ditolak untuk seluruhnya.
Dalam pokok perkara, berdasarkan kesimpulan yang dibuat dan disusun tim kuasa hukum 44 warga Pulosari memohon kepada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, menyatakan PT. Patra Jasa sebagai Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada para penggugat, menyatakan menurut hukum besarnya kerugian yang diderita para penggugat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT. Patra Jasa selaku tergugat yaitu kerugian materiil diwajibkan membayar uang ganti kerugian bangunan keseluruhan senilai Rp. 9.419.306.400, dan kerugian immateriil karena adanya tekanan psikis, rasa was-was, khawatir dan terbebaninya pikiran para penggugat karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, oleh karenanya PT. Patra Jasa harus dihukum membayar kerugian sebesar Rp. 10 miliar, menghukum PT. Patra Jasa sebagai tergugat secara tanggung renteng untuk membayar kerugian yang diderita para penggugat akibat Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan tergugat kepada para penggugat.
Tim kuasa hukum 44 warga Pulosari dalam kesimpulannya juga menerangkan, I Ketut Kimiarsa yang ditunjuk sebagai Ketua Majelis dan dua hakim anggota yang lain beserta Panitera Pengganti (PP) telah melakukan PS yang dilaksanakan Senin (19/5/2025) didapati fakta, adanya bekas reruntuhan bangunan rumah milik warga, masih berdiri fasilitas umum dan sosial berupa jalan lingkungan yang berpaving, tiang listrik, serta sebuah mushala AN-NUR.
Temuan-temuan majelis hakim di PS tersebut menunjukkan keberadaan komunitas dan kehidupan sosial yang telah terbentuk secara faktual sebelum penghancuran atas kesalahan dan kelalaian PT. Patra Jasa sebagai Tergugat saat pelaksanaan eksekusi dengan gugatan tanah antara PT. Patra Jasa sebagai Tergugat melawan 40 warga Pulosari lainnya yang dalam perkara nomor 678/Pdt.G/2024/PN.Sby ini sebagai turut tergugat, dimana 40 warga Pulosari ini dulunya menjadi tergugat dalam perkara nomor : 333/PDT.G/2013/PN/Sby.
Masih berdasarkan isi kesimpulan sebanyak 117 lembar halaman ini juga dijelaskan, dalam PS tersebut dapat dibuktikan pula tidak seluruh bagian objek sengketa dikelilingi tembok beton, sebagaimana diklaim PT. Patra Jasa melalui keterangan para saksi yang mereka telah hadirkan dipersidangan.
Fakta di lapangan menunjukkan, tembok hanya berdiri di sebagian area, tidak membentuk keliling penuh, sehingga keterangan para saksi yang didatangkan PT. Patra Jasa melalui tim kuasa hukumnya, sangat bertentangan dengan fakta di lapangan.
Memperhatikan status penguasaan dan kehidupan sosial para penggugat, tim kuasa hukum 44 warga Pulosari dalam kesimpulannya juga menjelaskan, para penggugat merupakan warga yang secara sah dan terbuka telah menempati serta membangun tempat tinggal di atas objek tanah sengketa sejak tahun 2007 hingga tahun 2018, yaitu rentang waktu setelah masa berlaku Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 434 milik PT. Patra Jasa berakhir pada tahun 2006.
Selama periode tersebut, para penggugat tidak hanya mendirikan bangunan secara permanen juga mengembangkan lingkungan pemukiman melalui pembangunan jalan, saluran air, jaringan listrik, dan fasilitas ibadah (mushola), melakukan pembayaran listrik kepada PLN dan air bersih kepada PDAM, membangun relasi sosial dan komunitas bermukim yang stabil dan terorganisir.
Dalam kesimpulan 44 warga Pulosari ini juga diterangkan, keberadaan para penggugat di atas tanah tersebut berlangsung secara damai, terbuka, dan tanpa gangguan atau keberatan dari pihak mana pun hingga terjadinya eksekusi pada awal tahun 2018.
Baca juga: Pengadilan Negeri Sidoarjo Eksekusi Aset PT KAI di Halaman Stasiun Sidoarjo
Keadaan ini menunjukkan, 44 warga Pulosari telah menguasai tanah tersebut dengan iktikad baik dan berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar atas tempat tinggal.
Tim kuasa hukum 44 warga Pulosari dalam kesimpulannya juga menyatakan, pelaksanaan eksekusi (telah) melanggar hukum dan tidak sah.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa eksekusi pengosongan dilakukan PT. Patra Jasa tanggal 6-7 Februari 2018 berdasarkan Penetapan nomor : 108/EKS/2017/PN.SBY jo. Putusan Pengadilan nomor : 333/Pdt.G/2013/PN.SBY jo. Putusan Pengadilan Tinggi nomor : 553/Pdt/2014/PT.SBY.
Namun, eksekusi tersebut mengandung pelanggaran serius karena para penggugat bukan pihak dalam putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.
Hal mengejutkan kedua adalah, pengadilan tidak pernah ada relas aanmaning, panggilan resmi, atau pemberitahuan hukum apa pun yang ditujukan kepada para penggugat.
Kemudian, tidak pernah ada peringatan atau musyawarah yang melibatkan 44 warga Pulosari ini sebagai pihak yang menempati lahan dan memiliki bangunan.
Yang membuat pelaksanaan eksekusi itu aneh dan sangat janggal adalah dalam dokumen pelaksanaan eksekusi, ditambahkannya secara sepihak frasa "dan seluruh penghuni" padahal frasa ini tidak ada atau tidak termuat dalam amar putusan, sehingga perintah pelaksanaan eksekusi yang terjadi telah melampaui kewenangan majelis hakim dan bersifat ultra petita executie.
Eksekusi juga dijalankan tanpa pemetaan aktual dan tanpa pemisahan antara bangunan milik PT. Patra Jasa dalam perkara 333 dan bangunan yang dibangun para penggugat secara sah.
Tindakan ini tidak hanya melanggar asas-asas fundamental hukum acara perdata seperti asas audi et alteram partem dan asas kepastian hukum, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hukum yang layak terhadap hak milik dan tempat tinggal.
Editor : Alim Perdana