Radjamin Nasution, Wali Kota Surabaya Pertama : Dokter, Birokrat dan Pejuang

ayojatim.com
Muhamad Didi Rosadi, Ketum Forkom Jurnalis Nahdliyin. foto: dokpri/ayojatim

BULAN MEI bisa dibilang bulannya Kota Surabaya. Di bulan ini, selama sebulan penuh di isi dengan rangkaian kemeriahan Hari Jadi Kota Surabaya atau HJKS. Mulai pameran, parade Surabaya Vaganza, festival kuliner khas Surabaya, diskon belanja. Hingga puncaknya Resepsi Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei yang rutin digelar di Balai Kota Surabaya.

Tahun ini usia Kota Surabaya genap 732 tahun. Saat ini Kota Surabaya dipimpin Eri Cahyadi. Ia adalah Wali Kota Surabaya ke-17. Eri Cahyadi sosok Wali Kota populer. Ia bahkan memimpin Asosiasi Pemerintahan Kota seluruh Indonesia atau APEKSI. Namanya menasional. Tapi tahukah publik Surabaya, siapa Wali Kota Surabaya pertama?

Baca juga: Ironi di Hari Jadi Surabaya: Makam Sang Wali Kota Pertama Sunyi Tanpa Penanda

Wali Kota Surabaya pertama adalah dr. Radjamin Nasution (15 Agustus 1892 - 10 Februari 1957). Ia bukan berasal dari suku Jawa atau Madura yang merupakan etnis mayoritas di Kota Surabaya. Kalau melihat namanya, jelas ia berasal dari Sumatera Utara, tepatnya Mandailing Natal. Itu dipertegas nama Nasution yang merupakan salah satu marga di Sumatera Utara.

Meski sosok Radjamin Nasution kurang dikenal masyarakat Surabaya, terlebih di kalangan Gen Z. Namun jasa dan pengabdiannya sangat besar untuk Kota Surabaya, bahkan bagi Republik ini. Radjamin Nasution adalah Dokter, Birokrat dan Pejuang Kemerdekaan.

Radjamin Nasution adalah lulusan sekolah kedokteran Stovia di Batavia atau Jakarta saat ini. Ia adalah kolega dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo, organisasi pergerakan pertama Bumi Putera. Stovia adalah sekolah kedokteran satu-satunya saat itu. Mereka yang bersekolah di Stovia bisa dibilang orang-orang pilihan dan dari latar belakang keluarga bukan sembarangan. Ayah Radjamin termasuk pegawai golongan tinggi di masa itu.

Pasca lulus Stovia dan resmi menyandang gelar dokter, Radjamin sempat mendapat penugasan ke sejumlah daerah. Hingga pada tahun 1929 mendapat penugasan di Kota Surabaya. Pada tahun 1938, Radjamin menjabat Kepala Bea dan Cukai Surabaya. Ia sempat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Surabaya pada tahun 1945, di saat revolusi fisik kemerdekaan bergolak di Surabaya.

Radjamin menjadi birokrat sejak era pemerintah kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan. Sejumlah jabatan penting pernah ia emban. Sebelum menjadi Kepala Bea dan Cukai Surabaya, Ia pernah menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 ia diangkat sebagai pemerintah Kota Surabaya (wethouder).

Pasca kalah perang dari Jepang, Belanda pun meninggalkan Kota Surabaya. Radjamin pun menggantikan tugas Wali Kota Surabaya yang berasal dari Belanda W.A.H. Fuchter. Di masa pendudukan Jepang, Radjamin diangkat menjadi wakil dari Wali Kota Surabaya, Takahashi Ichiro.

Karir Radjamin terus melesat, pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Ichiro menyerahkan jabatan Wali Kota kepada Radjamin Nasution. Ia pun resmi memimpin Kota Surabaya dengan restu Presiden Soekarno. Praktis, Radjamin dua kali menjadi Wali Kota Surabaya.

Meski tidak sepopuler Doel Arnowo, Radjamin juga adalah seorang pejuang kemerdekaan. Dengan latar belakangnya sebagai seorang dokter, ia melakukan penyelamatan, pengobatan dan perawatan medis terhadap para pejuang yang terluka dalam perang.

Baca juga: Anggota DPRD Dukung Usulan FJN, Wali Kota Surabaya Pertama dr. Radjamin Nasution Diabadikan sebagai Nama Jalan

Radjamin memimpin operasi pengungsian rakyat Surabaya, dari Surabaya ke Mojokerto dan Tulungagung. Termasuk mengungsikan para pejuang yang terluka untuk mendapatkan tindakan medis. Tentu langkahnya ini berisiko tinggi, nyawa taruhannya. Ia juga tetap menjalankan fungsi pemerintahan Kota Surabaya dari Mojokerto, karena Surabaya saat itu dalam kondisi chaos perang.

Meski tidak lama menjabat Wali Kota Surabaya, namun banyak catatan sejarah yang digoreskan Radjamin Nasution. Dia lah yang menginisiasi pemindahan makam para pahlawan dari kawasan Simpang ke lapangan Canna, yang saat ini menjadi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bangsa.

Ia juga mendirikan klub sepakbola Soerabajasche Kantor Voetbalbond atau SKVB. Klub ini anggota dari Persebaya, mayoritas pemainnya adalah pegawai pemerintahan kota. Keaktifannya di sepakbola mengantarkannya sebagai Presiden Persebaya pada tahun 1950-1953.

Radjamin juga yang mendirikan Yayasan Kas Pembangunan Kota Surabaya yang dikenal dengan YKP. Hingga saat ini YKP masih eksis. Ia juga pernah menjadi Anggota DPR Kota Surabaya dan juga DPR RI hasil pemilu pertama tahun 1955 dari daerah pemilihan Jawa Timur.

Pada 10 Februari 1957, Radjamin Nasution menghembuskan napas terakhir di usia 64 tahun. Banyak yang mengusulkan Wali Kota Surabaya itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tapi pihak keluarga memilih memakamkan jasad Radjamin di Taman Pemakaman Umum Rangkah di kawasan Kenjeran, bersama rakyat kebanyakan.

Baca juga: Bentuk Penghormatan kepada Wali Kota Surabaya Pertama, FJN Usulkan dr. Radjamin Nasution Diabadikan Menjadi Nama Jalan

Nasionalisme dan kesederhanaan Radjamin bisa menjadi contoh bagi para birokrat dan pemimpin bangsa saat ini. Teladan itu diikuti anak-cucunya. Hal itu terbukti secara empiris, meski banyak pihak yang mengusulkan Radjamin Nasution sebagai pahlawan nasional tapi pihak keluarga tidak pernah merespon. Padahal usulan gelar pahlawan tidak bisa diproses tanpa persetujuan pihak keluarga atau ahli waris.

Kombes Pol. Hendria Lesmana, Kapolresta Deli Serdang, Polda Sumatera Utara, pernah menyampaikan jika pihak keluarga tidak ingin mengungkit jasa Opung Radjamin Nasution. Pamen Polri itu bagian dari keluarga besar Radjamin Nasution, ia menikah dengan salah satu keturunan Wali Kota Surabaya pertama tersebut. Itu ia sampaikan kepada penulis, saat masih berdinas di wilayah hukum Kota Surabaya, saat menjadi Kapolsek Genteng.

Sekali pun pihak keluarga tidak menuntut penghormatan kepada Radjamin Nasution. Tetapi menurut penulis sudah semestinya negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya memberikan penghormatan kepada Wali Kota Surabaya pertama tersebut.

Setidaknya, Wali Kota Eri Cahyadi bisa meniru Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa yang melakukan tradisi ziarah ke makam Gubernur Jawa Timur pertama, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau lebih dikenal dengan nama Gubernur Soerjo. Ziarah itu rutin dilaksanakan menjelang Hari Jadi Provinsi Jawa Timur pada 12 Oktober.

Akhir kata, ijinkan penulis mengucapkan Selamat Hari Jadi Kota Surabaya ke-732 yang penuh kemeriahan. Di tengah kemeriahan ini, mari kita tundukan kepala dan berdoa untuk Opung Radjamin Nasution, Wali Kota Surabaya pertama.

  • Muhamad Didi Rosadi
    - Ketum Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN)
    - Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Timur
    - Warga Kota Surabaya

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru