JAKARTA – Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi momentum penting dalam menata ulang koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam sistem peradilan pidana.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Acara ini menghadirkan para akademisi dan praktisi hukum untuk membahas urgensi sinergi antar-institusi guna mewujudkan proses penegakan hukum yang lebih efektif dan berkeadilan.
Baca juga: Pupuk Indonesia Dukung Penuh Penegakan Hukum Kasus Penyelewengan Pupuk Subsidi di Ngawi
Pentingnya Koordinasi dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam sambutannya, Wildan Mutaqin, Presiden Mahasiswa BEM UMJ, menekankan bahwa seminar ini tidak hanya menjadi ajang menambah wawasan, tetapi juga sebagai ruang diskusi konstruktif untuk merumuskan solusi atas permasalahan hukum yang berkembang di Indonesia.
“Penting bagi kita untuk terus menggali dan mengembangkan format yang tepat dalam koordinasi ini, guna memastikan proses peradilan pidana berjalan lebih transparan, adil, dan efisien,” ujar Wildan.
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memaparkan sejarah perkembangan peran penuntut umum dalam sistem peradilan pidana.
Menurutnya, sebelum adanya kekuasaan sentral yang berwenang, penuntutan dilakukan secara perseorangan oleh pihak yang dirugikan. Model accusatoir murni ini menggabungkan proses pidana dan perdata dalam satu mekanisme.
“Penuntutan kesalahan seseorang menjadi sulit karena yang bersangkutan memperoleh kesempatan menghilangkan barang bukti. Kerap kali tuntutan pidana tidak dilakukan karena rasa takut terhadap pembalasan dendam atau ketidakmampuan mengungkapkan kebenaran. Oleh karena itu, tuntutan pidana kemudian diserahkan kepada badan negara khusus yang disebut Openbaar Ministerie sebagai Penuntut Umum,” jelas Alfitra.
Andrean H. Poeloengan, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI periode 2016-2020, menilai bahwa pembaruan KUHAP harus mempertimbangkan keseimbangan antara kewenangan penyidik dan penuntut umum.
Menurutnya, koordinasi yang lebih erat antara kedua pihak sangat diperlukan untuk menghindari tumpang-tindih kewenangan yang dapat menghambat efektivitas penyelesaian perkara pidana.
“Koordinasi yang baik antara penyidik dan penuntut umum akan memastikan proses hukum berjalan lebih lancar dan akuntabel,” ujar Andrean.
Baca juga: HAM di Ujung Tanduk? KontraS dan Pakar Bahas Masa Depan Indonesia
Di sisi lain, Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UMJ, menegaskan ketidaksetujuannya terhadap gagasan yang menempatkan jaksa sebagai penuntut umum sekaligus penyidik.
Menurutnya, pemisahan tugas antara penyidik dan penuntut umum harus tetap dijaga demi memastikan adanya mekanisme check and balance dalam sistem peradilan pidana.
“Penuntut umum perlu menyaring perkara berdasarkan klasifikasi individu dan kepentingan umum. Yang paling penting dalam proses penuntutan adalah apakah ada kepentingan umum yang harus diperjuangkan. Namanya juga penuntut umum, maka harus melihat kepentingan umum dalam setiap perkara,” tegas Chairul Huda.
Konsep Dominus Litis dan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan
Chairul Huda juga menjelaskan konsep dominus litis, yang menunjukkan bahwa penuntut umum memonopoli penuntutan dan menjalankannya berdasarkan asas oportunitas.
Selain itu, penuntut umum memiliki kewenangan untuk menyaring perkara sebelum diajukan ke pengadilan.
“Perkara yang diajukan ke pengadilan mestinya yang memiliki bukti kuat, sehingga tidak terlalu banyak perkara yang menumpuk di pengadilan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa konsep dominus litis juga memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Artinya, tidak semua perkara harus dibawa ke persidangan.
Diskusi ini menegaskan bahwa koordinasi antara penyidik dan penuntut umum masih menjadi tantangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dengan adanya pembaruan KUHAP, diharapkan mekanisme koordinasi antar-institusi dapat lebih terstruktur, sehingga meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum.
“Reformasi KUHAP harus menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antara penyidik dan penuntut umum, demi mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil dan efisien,” tutup Wildan Mutaqin.
Editor : Alim Perdana