Refleksi Moral dan Agenda Strategis Menyongsong Milad ke-35 dan Silaknas ICMI 2025 di Bali

Membongkar Modus Korupsi Dana TASPEN

ayojatim.com
Petugas memindakan uang yang merupakan barang rampasan negara saat acara penyerahan barang rampasan negara dari KPK kepada PT TASPEN di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/11/2025). (Beritanasional.com/Oke Atmaja)

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Pengajar Pendidikan Anti Korupsi

KASUS korupsi yang menyeret dana investasi TASPEN kembali membuka mata publik bahwa korupsi di negeri ini tidak lagi dilakukan dalam bentuk yang kasar, sederhana, dan mudah dikenali.

Baca juga: Dari Wonosalam ke Dunia, Akademi Buah Nusantara dan Masa Depan Hortikultura Indonesia

Modusnya kian halus, berlapis, tersamarkan dalam instrumen keuangan modern, dan memanfaatkan celah tata kelola yang tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat.

Korupsi bukan lagi hanya sekadar permainan suap, mark-up, atau penggelembungan anggaran. Tetapi sudah menjelma dalam rekayasa struktur kelembagaan, pemanipulasian instrumen investasi, hingga kolaborasi terselubung antara aktor internal dan eksternal yang bertindak sebagai operator, fasilitator, dan penyamar risiko.

Kasus TASPEN menunjukkan bagaimana uang yang seharusnya menjadi jaminan masa tua aparatur negara (guru, polisi, ASN, tenaga administrasi, para pekerja yang mengabdi puluhan tahun) dijadikan ruang bancakan yang tersusun rapi. Di sinilah esensi tragedinya: korupsi tidak hanya merampas uang negara, tetapi merampas ketenangan hidup rakyat yang “paling loyal” pada republik.

Modus yang terbongkar dalam kasus ini, jika ditelisik, memiliki pola yang kemungkinan juga berlaku di kasus-kasus lain: penempatan investasi pada instrumen yang direkayasa, konsultan yang merekayasa penilaian risiko, perusahaan cangkang yang digunakan sebagai saluran penyedotan dana, dan struktur pertanggungjawaban yang dibuat kabur sehingga selalu ada “orang di depan” yang menjadi tumbal, sementara aktor intelektual tetap bersembunyi di balik layar. Inilah wajah baru korupsi: modern, sistematis, dan berlapis.

Namun pertanyaan yang lebih dalam muncul: mengapa pola yang sama terus berulang? Jawabannya tidak hanya terletak pada celah regulasi atau kelemahan pengawasan, tetapi pada fondasi etika publik yang rapuh.

Ketika jabatan tidak dipandang sebagai amanah, ketika kekuasaan dianggap sebagai akses istimewa, dan ketika keberhasilan diukur dari akumulasi materi, maka korupsi bukan lagi penyimpangan, tetapi sudah menjadi konsekuensi.

Di sinilah refleksi moral menjadi penting. Korupsi di Indonesia bukan lagi masalah hukum, tapi masalah peradaban. Ia merusak tatanan nilai, mematikan integritas, dan menghancurkan kepercayaan sosial yang menjadi syarat kemajuan bangsa. Negeri mana pun tidak dapat melompat menjadi negara maju bila mentalitas predator bercokol di pusat institusi publiknya.

Karena itu, menjelang Milad ke-35 ICMI dan Silaknas ICMI 2025 di Denpasar, Bali, 5-7 Desember yang akan datang, isu ini relevan bukan hanya untuk dibahas, tetapi untuk diangkat sebagai agenda strategis nasional.

Sebagai himpunan cendekiawan muslim, ICMI memiliki legitimasi moral, intelektual, dan historis untuk mendorong arah baru pemberantasan korupsi. Yaitu arah yang tidak hanya legalistik, tetapi berakar pada etika, akhlak, dan tanggung jawab sosial.

Baca juga: Reformasi POLRI: Kajian Akademik dari Perspektif Teori Administrasi dan Manajemen Sektor Publik

Dalam pandangan saya, forum mulia ICMI di Bali nanti harusnya juga menjadi momentum untuk: Pertama, menghadirkan peta modus korupsi kontemporer, khususnya pada lembaga pengelola dana publik seperti pensiun, asuransi sosial, jaminan kesehatan, dan keuangan negara.

Kedua, merumuskan pendekatan pemberantasan korupsi berbasis nilai: integritas, amanah, kejujuran, dan tanggung jawab publik. Yaitu nilai yang tidak bisa digantikan oleh instrumen hukum semata.

Ketiga, menyusun rekomendasi kebijakan yang realistis, terukur, dan dapat ditindaklanjuti pemerintah, termasuk pembenahan tata kelola, audit investasi, transparansi, dan keterlibatan publik.

Keempat, mengembalikan narasi bahwa korupsi bukan sekadar kriminalitas, tetapi pengkhianatan terhadap umat, bangsa, dan masa depan.

ICMI tidak perlu menjadi lembaga penegak hukum. Cukuplah menjadi penegak kesadaran publik, pemandu akal sehat kebangsaan, dan sumber kejernihan moral yang kini mulai langka di ruang publik. Apalagi memasuki usia tiga dekade, ICMI dituntut tampil bukan sebagai penonton keadaan, tetapi sebagai penentu arah peradaban bangsa.

Baca juga: Mengapa JR Terhadap UU 14/2025 Tidak Minta Pasal Umrah Mandiri Dihapus Justru Minta Ditambahkan Definisi

Kasus korupsi dana TASPEN adalah cermin. Ia menampilkan wajah kita. Kita boleh marah, muak, kecewa, atau tidak percaya. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana bangsa ini menjadikan kejadian tersebut sebagai titik balik.

Bangsa yang gagal belajar dari skandalnya sendiri adalah bangsa yang sedang berjalan menuju keruntuhan pelan-pelan. Dan kita jangan sampai menjadi bangsa yang seperti itu.

Karena itu, momentum Silaknas di Bali tak boleh hanya seremoni, tak boleh sekadar forum, tak boleh hanya agenda tahunan. Tapi harus menjadi panggilan Sejarah, bahwa para cendekiawan muslim tidak diam ketika amanah publik dikhianati. Bahwa akal dan iman dapat bertemu dalam tindakan sosial. Bahwa moralitas dan kebijakan publik dapat disatukan kembali setelah lama tercerai.

Dan dari sanalah kita berharap: ICMI kembali menjadi cahaya yang menerangi, bukan sekadar nama yang dikenang, dengan narasi bahwa ICMI pernah berkiprah membangun bangsa ke arah yang cemerlang. Tetapi di era ini ICMI benar-benar hadir sebagai mitra pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru